in

Ketiadaan Literasi Bikin Masyarakat Tak Peka Isu Perbudakan

Suasana kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin. (antara foto/dadong abhiseka)

JAKARTA (jatengtoday.com) – Aktivis hak asasi manusia sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati, memandang ketiadaan literasi tentang perbudakan menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi tidak sensitif atau peka apabila hal tersebut terjadi di sekitarnya.

“Indonesia itu memang tidak memiliki literasi tentang perbudakan, baik perbudakan modern maupun praktik-praktik serupa. Oleh karena itu, kita menjadi tidak sensitif jika itu terjadi di sekitar kita,” ujar Asfinawati.

Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam kajian publik bertajuk “Kerangkeng Manusia: Praktik Perbudakan Modern?” yang disiarkan langsung di kanal YouTube ILUNI FHUI, Sabtu (19/2/2022).

Baca Juga: Stop Perbudakan, Jangan Terjerat Jaring Kapal Asing!

Lebih lanjut, Asfinawati pun memaparkan sejumlah hal tentang perbudakan yang perlu diketahui masyarakat.

Pertama, bentuk baru perbudakan. Bentuk-bentuk perbudakan tersebut, kata Asfinawati, merupakan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Perbudakan (Working Group on Slavery) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1975.

Bentuk-bentuk baru perbudakan tersebut adalah jeratan utang yang banyak terjadi di lingkungan pekerja migran, perhambaan, buruh anak atau perhambaan anak, perdagangan orang dan organ tubuh manusia, serta perbudakan seksual.

“Lalu, ada pula pelibatan anak dalam konflik bersenjata yang tidak pernah kita pikirkan masuk ke dalam praktik-praktik perbudakan. Kemudian, ada perdagangan anak, pemaksaan perkawinan atau penjualan pengantin, eksploitasi prostitusi, dan pekerja migran,” papar Asfinawati.

Bentuk Kontemporer

Berikutnya di tahun 2017, ujar Asfinawati melanjutkan, PBB memunculkan pelaporan khusus terkait dengan bentuk kontemporer perbudakan.

Beberapa cakupan isu dalam laporan tersebut adalah perbudakan tradisional, kerja paksa, jeratan utang, bekerja dan tidak bisa memiliki atau menjual hasil kerjanya, serta anak dalam perbudakan.

Selain itu, juga ada kerja rumah tangga atau kontrak yang menempatkan orang dalam situasi perbudakan, perbudakan seksual, perkawinan dini ataupun perkawinan paksa, dan bentuk perhambaan dalam perkawinan.

Dari seluruh bentuk-bentuk kontemporer itu, Asfinawati menyampaikan bahwa jeratan utang menjadi salah satu modus yang paling sering terjadi dalam perbudakan.

Dikatakan pula unsur perbudakan yang perlu dipahami masyarakat adalah dicabutnya hak yang melekat pada diri seseorang, baik sebagian maupun seluruhnya.

Sikap Permisif

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengimbau masyarakat Indonesia tidak bersikap permisif atau mewajarkan segala bentuk penyiksaan dalam rangka kembali membumikan hak asasi manusia di Tanah Air, termasuk menghormati nilai kesetaraan dan kebebasan.

“Tantangan bagi kita (untuk menyelesaikan persoalan penyiksaan) adalah bagaimana kita mengajak masyarakat untuk tidak permisif terhadap praktik-praktik penyiksaan ataupun tindakan kejam dan merendahkan martabat,” ujar Taufik Basari.

Menurutnya, tindakan permisif terhadap penyiksaan bertentangan dengan keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju dan beradab.

Baca Juga: Usut Temuan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati

Sejauh ini, Taufik Basari memandang sebagian masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran terkait dengan pentingnya memandang manusia lain secara setara dan memiliki hak kebebasan yang serupa.

Contohnya, isu keberadaan kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin angin yang justru didukung oleh warga setempat.

“Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap bagaimana memandang manusia lain, kesetaraan, dan kebebasan masih harus kita berikan pemahaman. Bagaimana pun, semua orang harus ditempatkan bebas dan setara,” ujarnya.

Selain cenderung bersikap permisif, Taufik Basari pun memandang bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang bersikap punitif, yakni menempatkan penyelesaian suatu masalah dan pemberian efek jera dengan menghukum seseorang. Dengan demikian, mereka pun dapat merasa senang jika seseorang dihukum.

Oleh karena itu, Taufik Basari berharap masyarakat dapat memiliki kesadaran untuk membenahi kekeliruan pemahaman tersebut. (ant)