in

Impor Tak Selamanya Solusi: Indonesia Terancam Kehilangan Plasma Nutfah Bawang Putih

Ilustrasi (foto: AI)

Di tengah derasnya arus bawang putih impor yang membanjiri pasar Indonesia, ada ancaman lain yang berjalan lebih senyap, yaitu semakin banyak kultivar lokal yang tidak lagi dibudidayakan. Bukan karena sulit tumbuh, bukan karena kalah rasa, tetapi perlahan hilang hanya karena alasan tidak laku di pasaran.

Padahal, hilangnya satu varietas lokal berarti hilangnya satu set gen yang tidak bisa dikembalikan. Setiap varietas yang punah mengurangi kekayaan genetik bangsa yang selama ini menjadi modal penting dalam pembangunan pertanian.

Setiap kultivar lokal menyimpan karakter unik yaitu aroma yang khas, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tertentu, hingga potensi ketahanan terhadap hama dan penyakit. Semua itu merupakan bagian dari plasma nutfah yang menjadi fondasi keberlanjutan pertanian nasional.

Dalam konteks ketahanan pangan, kehilangan plasma nutfah adalah kerugian strategis, terutama bagi negara yang masih bergantung pada impor bawang putih dalam jumlah besar.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh preferensi pasar yang mengutamakan bawang putih impor berukuran besar dan tampil lebih “menarik” secara visual. Produk lokal sebenarnya memiliki rasa dan aroma yang lebih kuat, namun tak mampu bersaing dari sisi ekonomi.

Alhasil, petani perlahan meninggalkan varietas lokal dan beralih menanam jenis yang dianggap lebih menguntungkan. Jika tren ini dibiarkan, kepunahan genetik bukan sekadar ancaman melainkan kenyataan yang bergerak mendekat sedikit demi sedikit.

Keragaman Genetik

Dari sudut pandang ilmiah, keragaman genetik adalah bahan baku penting untuk menciptakan varietas unggul. Mulai dari ukuran umbi yang lebih besar, efisiensi metabolisme, hingga toleransi terhadap perubahan iklim. Inovasi dalam pemuliaan tidak mungkin lahir tanpa keberagaman gen. Tanpa varietas lokal, ruang untuk berinovasi semakin sempit.

Sayangnya, hingga kini konservasi bawang putih lokal belum menjadi prioritas nasional. Indonesia belum memiliki basis data komprehensif mengenai varietas lokal, apalagi program konservasi sistematis yang melibatkan pemerintah daerah, lembaga penelitian, dan komunitas petani.

Di beberapa negara seperti China, bank gen dan kebun plasma nutfah menjadi benteng terakhir untuk menyelamatkan varietas lokal. Indonesia perlu menunjukkan komitmen serupa, terlebih untuk tanaman yang menjadi bagian dari kebutuhan pangan sehari-hari.

Selain peran negara, dukungan konsumen juga sangat penting untuk menghidupkan kembali pasar varietas lokal. Edukasi publik perlu digencarkan agar masyarakat memahami bahwa kualitas bawang putih tidak hanya ditentukan oleh ukuran, tetapi juga oleh rasa, aroma, dan nilai budaya yang menyertainya.

Konsumen berhak tahu bahwa bawang putih lokal menyimpan keunggulan yang tak dimiliki bawang impor. Dengan begitu, petani memiliki alasan kuat untuk mempertahankan dan memperbanyak varietas tersebut.

Konservasi Terencana

Upaya konservasi yang terencana mutlak diperlukan agar kekayaan genetik bawang putih lokal tidak hilang selamanya. Dukungan dapat diwujudkan melalui pengembangan pasar komunitas, promosi kuliner daerah, hingga penerapan sertifikasi indikasi geografis.

Langkah-langkah ini tidak hanya memperkuat posisi varietas lokal di pasar, tetapi juga melindungi mata rantai perbenihan yang kerap menjadi titik rawan hilangnya plasma nutfah. Dengan dasar genetik yang terjaga, kita memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan varietas unggul yang bernilai ekonomi tinggi tanpa terus bergantung pada impor.

Setiap kali mendengar kabar bahwa bawang putih lokal dari suatu daerah sudah tidak lagi ditemukan, terselip kegelisahan bahwa suatu hari varietas-varietas ini mungkin benar-benar hilang dari ladang mana pun di Indonesia. Mereka bertahan hidup hanya karena diselamatkan oleh segelintir orang yang peduli. Pertanyaannya: sampai kapan?

Ketika varietas lokal punah, kita kehilangan peluang untuk menghasilkan tanaman yang lebih produktif, tahan penyakit, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Kepunahan plasma nutfah tidak datang dengan suara gaduh; ia datang perlahan, senyap, dan hilang tanpa kita sadari. Sudah saatnya kita memberi perhatian serius pada kekayaan genetik yang tersisa sebelum semuanya lenyap tanpa jejak. (*)

Penulis

Gabriella Marry Ayu
Dosen di StiKes Widya Husada Medan yang sedang melanjutkan pendidikan Program Studi Doktor Biologi Universitas Gadjah Mada