SEMARANG (jatengtoday.com) – Ketua Setara Institute, Hendardi, menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimuat beberapa media, salah satunya di www.bbc.com, Kamis (13/2/2020) lalu. Menurut Hendardi, prioritas pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa nyaris tidak ada harapan bagi penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.
Selain itu, tidak ada upaya serius dalam penanganan kasus intoleransi yang menjalar di tengah masyarakat, sekolah, kampus, bahkan di tubuh aparatur sipil negara serta TNI/Polri. “Dengan diletakkannya HAM bukan sebagai agenda prioritas oleh presiden, menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki pengetahuan holistik soal HAM,” ungkap Hendardi, Senin (17/2/2020).
Dikatakannya, hak asasi manusia adalah paradigma bernegara, bukan semata kasus atau pelanggaran HAM. “Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya. Dengan pemahaman yang demikian, agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan,” katanya.
Perlu diingat, lanjut dia, tugas konstitusional memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM dan jaminan kesetaraan dalam beragama/berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih-pilih oleh seorang presiden.
“Semua tugas konstitusional melekat pada seorang presiden dalam suatu periode pemerintahan. Oleh karena itu, presiden dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan dalam berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut. “Apalagi, khusus penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi, merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama, di mana secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014 silam,” katanya.
Presiden, lanjut Hendrardi, memiliki banyak perangkat dan instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Gagasan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawacita 2014, adalah model yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
“Fokus komisi ini adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non yudisial. Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya,” lanjut dia.
Sayangnya, masih kata Hendardi, Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode II ini, dengan alasan prioritas kepemimpinannya adalah kemajuan ekonomi-kesejahteraan dan penguatan SDM. “Lalu kapan janji penuntasan bidang HAM akan dipenuhi? Sedangkan Jokowi sudah memasuki periode II,” ungkapnya.
Di bidang penanganan intoleransi, Hendardi, menyoroti komitmen Jokowi yang dinilai tampak hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri—yang oleh Jokowi dianggap memiliki kecakapan penangan intoleransi. “Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan/lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi. Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara.”
Dia menilai, kepemimpinan Jokowi-Maruf belum genap 1 tahun. “Jokowi masih punya waktu dan mesti menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto