SEMARANG (jatengtoday.com) – Tidak bisa dibayangkan apabila dalam sepuluh tahun ke depan Indonesia masih kecanduan bahan bakar fosil. Penambangan dan pembakaran batubara yang menyebabkan efek rumah kaca dilakukan secara ugal-ugalan.
“Gas yang mengandung karbon menumpuk di atmosfer membuat energi matahari terperangkap di bumi. Suhu bumi naik, menyebabkan aneka masalah bagi kita, mulai dari kemarau panjang, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut,” kata Koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima), Ellen Nugroho, saat melakukan aksi di Tugu Muda Semarang, Jumat (15/9/2023).
Tidak hanya itu, saat ini, siklon tropis yang terus mendekati khatulistiwa telah memakan ratusan korban jiwa. “Jika kita (Indonesia) terus hidup dengan kecanduan bahan bakar fosil seperti sekarang ini, dalam sepuluh tahun lagi, krisis iklim sudah tak bisa terbayangkan,” katanya.
Lebih lanjut, kata dia, Pantai Utara Jawa menjadi area yang sangat terdampak atas perubahan iklim ini. Menurut prediksi BMKG tahun 2032-2040, suhu harian akan meningkat dan kemarau makin panjang. “Ini berisiko menimbulkan gagal panen, krisis air bersih dan pangan. Itu semua bisa membuat ketidakstabilan sosial dan politik,” terangnya.
Iqbal Alma dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah mengatakan, para ahli telah memperhitungkan bahwa skenario paling optimis pun—secara bertahap temperatur harian akan terus naik, hingga ke taraf mematikan.
“Orang sudah tidak aman lagi berkegiatan di luar rumah. Sekitar 70-80 tahun lagi, penduduk Pulau Jawa akan mengalami panas mematikan itu sebanyak 200-300 hari dalam setahun,” ungkapnya.
Dikatakannya, percepatan perubahan iklim sangat merisaukan. “Masih bisa dihunikah bumi ini saat anak-anak kita besar nanti? Kita bahkan bertanya-tanya, dalam dua puluh tahun mendatang, Semarang masih ada atau sudah tenggelam?” ujarnya.
Linggayani Soentoro dari EduHouse mengatakan sejumlah orang tua turut membawa anak-anak untuk menyuarakan kegelisahan mengenai kondisi krisis iklim ini. Mereka tutut menyuarakan agar segera muncul kebijakan-kebijakan konkret untuk mengurangi, mengganti, atau meninggalkan bahan bakar fosil.
“Kita perlu stop kecanduan terhadap bahan bakar fosil,” jelasnya.
Di tingkat pribadi dan keluarga, lanjut dia, setiap masyarakat bisa berkontribusi menahan laju perubahan iklim dengan mengganti pilihan pangan yang rendah emisi karbonnya.
“Kita hindari pangan hewani dan berpindah ke pangan nabati. Kita bisa kurangi belanja baju. Kita bisa mengganti moda transportasi, lebih banyak menggunakan transportasi publik. Kita juga bisa mengurangi konsumsi listrik di rumah,” katanya.
Enstein Yusuf dari Charlotte Mason Indonesia (CMid) Semarang, mengatakan hal yang sangat penting adalah melakukan edukasi orang di sekitar tempat tinggal tentang perubahan iklim. “Termasuk bergabung bersama dengan aksi iklim seperti ini telah menjadi bagian mengurangi ,” tutur
Menurutnya, saat ini kondisi iklim dunia telah tidak stabil, bahkan memasuki masa genting. “Tidak mungkin perubahan terjadi kalau hanya jalan sendiri-sendiri. Pemuka agama, dengan pengaruhnya yang besar, mesti proaktif mengajak umat untuk ikut serta melakukan aksi-aksi nyata,” imbuh dia.
Setyawan Budy dari Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) mengatakan, agama apa pun membawa pesan rahmat bagi seisi semesta. Jadi, umat beragama mesti melampaui urusan ritual dalam hal ini.
“Tanpa membedakan agamanya apa, kepercayaan apa, karena kalau bumi ini rusak, kita semua akan merasakan dampaknya, tidak peduli apa keyakinan kita,” tegasnya.
Aksi Semarang Climate Strike dikoordinatori oleh Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) yang terdiri dari antara lain Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), EIN Institute, CMid Semarang, CM Teens, EduHouse, Rotary Bimasena, Klub Merby, WALHI Jateng, Gusdurian Semarang, LBH Semarang, KKPKC Kevikepan Semarang, Hysteria, Bukit Buku, XR Semarang, Roemah Difabel Inklusi, Greenpeace Semarang, dan Masyarakat Indonesia Rendah Karbon (MIRK). (*)