in ,

Bloomberg Hancurkan Industri Tembakau Tanah Air

SEMARANG – Bloomberg coba menghancurkan industri tembakau di Indonesia, terutama kretek. Organisasi dunia itu diketahui telah mendanai sejumlah pihak, terutama bidang farmasi untuk menjadi golongan antitembakau. Sebab, tembakau yang diolah menjadi kretek, menjadi ladang ekonomi untuk mengembangkan Indonesia. Hasil cukainya pun mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Jika dihancurkan, sudah pasti perekonomian negara semakin karut marut.

Fenomena itu terungkap dalam Forum Group Discussion (FGD) Jurnalis bertema Membongkar Akar Pertembakauan: Meluruskan Tudingan Antitembakau, Faktor Ekonomi, dan Warisan Tradisi Bangsa Indonesia yang digelar Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jateng di salah satu cafe di Semarang, Minggu (12/11).

Dr Tony Priliono dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang membeberkan, propaganda antirokok yang dilakukan adalah menakut-nakuti perokok. Yakni dengan memberi gambar seram di setiap bungkus rokok, serta penjelasan secara masif tentang bahaya merokok. Termasuk dampak asap hasil pembakaran tembakau terhadap perokok pasif.

Dijelaskan, hingga sekarang tidak ada riset yang benar-benar bisa menunjukkan bahwa merokok bisa merusak tubuh manusia. “Yang dijadikan riset adalah mereka yang sudah sakit. Bukan perokok yang sehat. Jadi, seolah-olah merokok itu bisa bikin sakit,” terang insiator Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LKRI) ini.

Yang dijadikan kambing hitam, lanjutnya, adalah kandungan nikotin yang ada pada tembakau. Bahkan nikotin disebut-sebut sebagai zat adiktif yang bisa membuat kecanduan. “Isu itu baru muncul setelah tahun 2000. Sebelumnya, tidak ada. Dan sampai saat ini, tidak ada yang bisa membuktikan kalau nikotin itu zat adiktif,” bebernya.

Dia pun menguraikan mengenai unsur kimia nikotin lewat pemamaparannya. Menurutnya, nikotin sama sakali tidak mengandung zat adiktif. Baginya, orang kesulitan berhenti merokok karena sudah menjadi kebiasaan. Dia pun mencontohkan orang Indonesia yang sudah terbiasa mengonsumsi nasi.

“Jika dalam sehari tidak mengonsumsi nasi, ada yang merasa lemas, pusing, dan keluhan lain. Apa berarti nasi itu juga mengandung zat adiktif?” jelasnya.

Sebagai penetrasi menghancurkan industri tembakau dengan isu kesehatan itu, dunia farmasi mulai menjual produk yang bisa meninggalkan perokok dari kecanduan nikotin. Yakni dengan produk seperti koyo, inhealer, hingga permen karet yang mengandung nikotin.

“Seolah-olah farmasi memberikan solusi. Padahal kandungannya itu ya nikotin juga. Yang katanya mengandung zat adiktif,” tegasnya.

Budayawan sekaligus dosen Unika Soegijapranata Semarang, Donny Danardono menambahkan, propaganda antitembakau mulai merasuk ke pemerintah Indonesia. Dibuktikan dengan terbitnya Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Artinya, pemrintah menganggap bahwa rokok itu dianggao sumber penyakit yang bisa menyebabkan kematian.

Itu juga merambah ke aturan iklan rokok. Dulu, sebelum tahun 2000, iklan rokok identik dengan kejantanan, macho, dan masa depan yang sukses. “Sekarang karena tidak boleh memperlihatkan produk rokok, tim kreatif iklan jadi sangat cerdas. Hingga susah dimengerti maksud iklannya itu apa,” terangnya.

Dalam kesempatan itu, Donny menjelaskan mengenai sejarah masuknya tembakau di Indonesia yang saat itu dibawa VOC. Hingga muncul budaya menghisap kretek dan kisah Roro Mendhut.

“Dulu rokok itu malah dijual di apotek. Karena dianggap bisa menyembuhkan penyakit. Salah satu merk kretek pun menjelaskan mengenai kisah Haji Djamhuri yang bisa sembuh dari asma karena kretek. Itu dijelaskan di setiap bungkus merek kretek itu,” paparnya.

FGD itu juga mengundang Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Suseno dan Dosen UKSW Sonny Heru Priyanto. Mereka juga mengisahkan propaganda dunia yang didalangi Bloomberg untuk menghancurkan industri tembakau di Indonesia. (ajie mh)

Editor: Ismu Puruhito