in

Begini Sejarah Dugderan, Filosofi Warak Ngendok dan Tradisi Berebut Roti Ganjel Rel

Jejak tradisi budaya peninggalan para pendahulu di Kota Semarang tak hanya unik dan menarik. Tetapi juga menyimpan nilai-nilai dan filosofi yang dalam.

Simbol-simbol yang digunakan tidak muncul begitu saja. Tetapi menyimpan makna sekaligus doa. Dugderan menjadi momen pesta rakyat yang paling ditunggu bagi warga Kota Semarang. Mulai dari karnaval, pawai budaya, pasar rakyat hingga mengharap berkah air suci khataman Al-Quran.

Berbagai elemen masyarakat paling bawah, pedagang, buruh, tokoh agama, ulama, anak-anak hingga dewasa, termasuk para punggawa pemerintah membaur menjadi satu.

Tradisi Dugderan digelar rutin setiap tahun untuk menyambut bulan suci ramadhan. Biasanya diawali dengan pawai budaya seperti halnya beberapa waktu lalu menjelang puasa. Berpusat di halaman Masjid Agung Kauman Semarang, tradisi Dugderan ini mulai muncul sejak ratusan tahun silam. Tepatnya pada 1881 silam.

“Ketika itu, Kota Lumpia masih disebut Kabupaten Semarang yang kala itu dipimpin oleh Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat,” kata Sekretaris Takmir Masjid Agung Kauman Semarang, Muhaimin.

Wali Kota secara simbolis membawa Roti Ganjel Rel untuk disebarkan kepada warga.

Tradisi ini bermula saat sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadan. Maka Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat
mengirim utusan untuk melihat bulan, yakni menggunakan metode Rukyatul Hilal atau metode melihat bulan secara langsung.

“Setelah bulan terlihat, utusan tersebut diminta menyampaikan kepada para kiai yang sudah berkumpul di masjid, disebut halaqah kiai untuk dilakukan verifikasi,” terangnya.

Setelah hasil verifikasi menemukan persetujuan ulama, maka hasil keputusan tersebut diminta segera diumumkan bahwa telah memasuki bulan suci ramadhan.
“D Masjid Kauman ini dibunyikan bedug besar sebanyak tujuh kali. Sedangkan dari Kantor Kabupaten Semarang yang lokasinya di Kanjengan, dibunyikan letusan meriam. Maksudnya supaya masyarakat datang ke alun-alun untuk mendengarkan hasil rukyah yang disampaikan oleh bupati,” terang Muhaimin.

Bunyi bedug ‘dug, dug, dug’, dan letusan meriam ‘der, der, der’ itulah kemudian menjadi akronim yang dikenal masyarakat Semarang dengan istilah ‘Dugderan’. “Dahulu memang menggunakan meriam asli. Tetapi dalam perkembangannya, panitia selalu melibatkan kepolisian yakni tim Gegana untuk menghasilkan suara letusan mirip letusan meriam,” katanya.

Gunungan Roti Ganjel Rel menjadi rebutan warga.

Dalam situasi kebahagiaan menyambut bulan suci, ribuan warga berebut Roti Ganjel Rel. “Nama Ganjel Rel itu sebenarnya ada maksudnya. Memasuki bulan puasa jangan sampai ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kalau ada yang mengganjal, maka harus direlakan. Jadilah istilah Ganjel Rel,” bebernya.

Roti Ganjel Rel merupakan menu khas asli Semarang sehingga menjadi kebanggaan. Dalam prosesi, ribuan warga berebut Roti Ganjel Rel di halaman Masjid Agung Kauman Semarang. Dalam waktu bersamaan, juga dibagikan air suci khataman Al-Qur’an.

Selain itu, ada simbol makhluk fiksi Warak Ngendok. Sebetulnya Warak Ngendok ini tidak ada di kehidupan nyata. Tetapi unsur-unsur di fisik Warak Ngendok mewakili akulturasi berbagai macam budaya suku yang hidup berdampingan di Semarang.

Secara fisik, kepala Warak bertaring dan sangar (mengerikan) menyimbolkan hawa nafsu manusia. “Badannya tegak, lehernya tegak, kakinya tegak, bahkan ekornya juga tegak. Itu kondisi usaha yang tidak berhenti ngeden yakni menahan dan mengendalikan hawa nafsu,” terangnya.

Sehingga selama bulan puasa harus mampu membersihkan jiwa dengan menahan dan mengendalikan hawa nafsu, menahan makan, dan seterusnya. “Tradisi prosesi Warak Ngendok ini tidak bisa ditemukan selain di bulan menyambut puasa, di momen Imlek tidak ada,” imbuhnya.

Tradisi ini dalam perkembangannya tidak hanya diikuti oleh orang Islam. Tetapi hampir semua masyarakat tanpa membedakan agama turut berperan serta dalam tradisi Dugderan tersebut. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto