SEMARANG (jatengtoday.com) – Dicabutnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 menuai kecaman berbagai pihak.
“Pencabutan tersebut adalah bentuk ketidakhadiran dan ketidakpedulian negara terhadap korban kekerasan seksual,” ujar Susmiati, pembaca tuntutan Konferensi Pers Alumni Sekolah Gender II LRC-KJHAM yang berlangsung via aplikasi Zoom, Minggu (9/8/2020).
RUU PKS itu sebenarnya sudah masuk dalam Prolegnas sejak 2016 lalu. Namun, tahun ini DPR mengeluarkan dari Prolegnas dengan alasan sulitnya pembahasan RUU itu. Padahal RUU yang baru masuk seperti Omnibus Law dan Minerba bisa langsung disahkan.
“Ini miris karena selama pembahasan alot RUU PKS, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus bertambah,” keluh Susmiati.
Berdasarkan Data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Bahkan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Kondisi itu menunjukkan betapa tidak amannya kehidupan kaum perempuan.
Selain itu, Alumni Sekolah Gender II juga menilai, Indonesia belum memiliki payung hukum yang dapat menjamin hak-hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Kemampuan korban untuk mendapatkan akses keadilan merupakan perwujudan hak asasi manusia.
Menurutnya, undang-undang di Indonesia saat ini hanya mengatur penindakan terhadap pelaku, sehingga korban rentan mengalami reviktimisasi.
Sulitnya Pengesahan RUU PKS
Di samping itu, Rofiah, tokoh agama perempuan yang menjadi salah satu narasumber dalam konferensi pers mengaku heran mengapa RUU PKS selalu tidak lolos dalam Prolegnas. Ia juga tidak bisa menjelaskan penyebab pastinya karena tidak ikut duduk di kursi dewan.
Yang jelas, katanya, sudah saatnya masyarakat mendesak pengesahan RUU PKS. “Kita harus desak. Seharusnya ini sudah masuk lobi tingkat tinggi antara anggota DPR beserta partai masing-masing. Jadi sudah harus sampai di situ,” ucap Dosen UIN Walisongo itu.
Menurut Rofiah, berbagai pendekatan harus dilakukan. Selain menggalang dukungan dari bawah seperti melalui diskusi dan edukasi kepada masyarakat, juga harus ditempuh melalui jalur politis dan berbagai terobosan.
Narasumber lain, Dekan Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Marcella E Simanjuntak menambahkan, secara politis yang menentang RUU PKS kemungkinan cukup banyak.
Dari perspektif akademis, hukum memang tidak bekerja di ruang yang hampa, baik dari pembuatan, pengesahan, hingga penerapan. “Ia selalu dipengaruhi kondisi sosio-politis, sosio-filosofis, sosio-religi, sosio-kultural, dan sosio ekonomi,” tandasnya.
Masukkan RUU PKS ke Prolegnas 2021
Meski RUU PKS telah dikeluarkan dari Prolegnas prioritas 2020, berbagai pihak masih mendesak pengesahan RUU tersebut. Desakan diwujudkan dalam bentuk tuntutan.
Tuntutan pertama, DPR RI harus memasukkan RUU PKS ke dalam Prolegnas 2021 di bulan Oktober 2020. Kedua, DPR RI harus menunjukkan sikap tegas dan komitmennya untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PKS dengan mempertahankan enam-elemen kunci RUU PKS.
Ketiga, pihak yang selama ini menolak disahkannya RUU PKS dapat menyampaikan aspirasinya yang berdasarkan pada kepentingan umum, bukan kelompok tertentu dengan cara-cara yang ditetapkan oleh hukum. Serta mendorong masyarakat untuk bersama-sama mengawal pembahasan RUU PKS.
Tuntutan tersebut disampaikan Alumni Sekolah Gender II bersama Ganas Community Taiwan, Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong Macau, Women’s Crisis Center Pandulangu Angu Gereja Kristen Sumba (WCC PA GKS), KOPRI PKC PMII Jawa Tengah, dan BEM Fakultas Hukum Unisbank. (*)
editor: ricky fitriyanto