SEMARANG (jatengtoday.com) – Berbagai elemen masyarakat, mahasiswa dan buruh yang tergabung dengan koalisi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) menyampaikan aspirasi dengan cara melayangkan surat protes kepada Disnarkertrans Jateng.
Saat ini, buruh atau pekerja dihadapkan dengan fenomena pandemi Covid-19 yang memicu potensi gelombang PHK besar-besaran dan dirumahkannya puluhan ribu buruh/pekerja di Jawa Tengah.
“Belum berhenti semua derita yang dialami oleh kaum buruh di masa Pandemi Covid 19, pada tanggal 17 Maret 2020 lalu, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Isinya, pemerintah memberikan peluang penentuan besaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan buruh,” ungkap Herdin Pardjoangan dari LBH Semarang, Jumat (1/5/2020).
Dikatakannya, surat edaran tersebut berpotensi melanggar ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota karena relasi antara buruh dan pengusaha yang timpang dalam perusahaan ketika melakukan negosiasi dan membuat kesepakatan. “Bukannya memberikan perlindungan bagi buruh yang sedang berhadapan dengan PHK dan dirumahkan tanpa pemenuhan hak,” ujarnya.
Surat edaran tersebut, lanjut dia, justru lebih mengakomodasi dan melegitimasi tindakan perusahaan yang seenaknya merumahkan pekerja/buruh dengan menggunakan dalih perusahaan tidak dapat beroperasi, baik karena kehabisan bahan baku ataupun karena kesulitan mendistribusikan hasil produksinya. Sehingga terpaksa tidak dapat memenuhi hak-hak normatif Buruh/Pekerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Jika ditelisik secara normatif, tindakan PHK dan dirumahkanya buruh tanpa disertai pemenuhan hak-hak normatif oleh perusahaan tersebut, jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap hak buruh,” tegasnya.
Penjelasan terkait hal tersebut, setidaknya dapat dilacak dalam ketentuan Pasal 156, Pasal 161, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 169, Pasal 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang isinya menyebutkan kewajiban perusahaan untuk tetap membayarkan kompensasi PHK terhadap buruh/pekerja yang terkena PHK.
“Begitu pun dengan buruh yang dirumahkan, perusahaan tetap diwajibkan membayar upah karena pada prinsipnya buruh bersedia melakukan pekerjaannya tetap mendapatkan upah, sebagaimana ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf (f) Jo. Pasal 185 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang pelanggaranya diancam dengan sanksi pidana maksimal 4 tahun pidana penjara,” bebernya.
Lebih lanjut, terkait dengan pembayaran upah yang dapat disepakati antara pengusaha dan dengan buruh/pekerja sebagaimana disebutkan dalam isi Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja. Secara hukum surat edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut, tidak mengikat dan hanya berlaku secara internal karena bukan merupakan produk Peraturan Perundang-Undangan yang masuk dalam hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
“Apabila pembayaran upah didasarkan pada ketentuan Surat edaran tersebut tetap dipaksakan, pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian dapat melakukan proses hukum terhadap pengusaha karena tindakannya melanggar ketentuan Pasal 185 (1) jo. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” katanya.
Artinya, lanjut dia, pengawas ketenagakerjaan pada Disnakertrans Provinsi dan kepolisian seharusnya memproses secara hukum pengusaha yang nekat dan melakukan pelanggaran hak-hak pekerja yang disebutkan di atas. “Di samping persoalan PHK dan dirumahkanya buruh tanpa pemenuhan hak normatif, kaum buruh dan masyarakat sipil dihadapkan dengan pembahasan Omnibus Law yang belum dibatalkan,” katanya.
Sejak awal penyusunanya, masih kata Herdin, RUU ini telah ditolak oleh elemen masyarakat sipil, buruh, petani, mahasiswa, akademisi, nelayan, masyarakat adat, dan lembaga non pemerintah karena proses penyusunannya tidak melibatkan dan mendengarkan aspirasi dari kelompok masyarakat sipil yang akan terdampak dengan regulasi tersebut. Justru pemerintah cenderung mengakomodasi kepentingan bisnis para pemodal.
“Omnibus Law: RUU Cipta Kerja ini terlihat lebih mengedepankan politik upah murah dan menerapkan konsep hubungan kerja fleksibel, legitimasi kontrak dan Outsourcing yang merugikan kalangan buruh,” katanya.
Karmanto dari Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Kota Semarang, menegaskan, Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat mendesak agar baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh jajaranya serta Dewan Perwakilan Rakyat untuk membatalkan pembahasan Omnibus Law.
“Lebih baik fokus menangani Pandemi Covid-19 melalui perumusan kebijakan dan tindakan yang tidak hanya berbentuk PSBB dan Kartu Prakerja, tetapi juga memastikan pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi,” tegasnya.
Pemerintah harus melakukan pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi pengusaha yang melakukan PHK sewenang-wenang dan merumahkan buruh di tengah pandemi Covid-19 tanpa memenuhi hak-hak normatif sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Cabut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, yang substansinya merugikan Buruh/Pekerja,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah harus memastikan pengusaha membayarkan THR bagi buruh atau pekerja secara penuh pada Hari Raya Idul Fitri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Memastikan perlindungan dan pemenuhan alat pelindung diri yang memadai bagi tenaga medis yang menangani pasien Covid-19, serta membuka ruang demokrasi seluas-luasnya dan menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil,” bebernya. (*)
editor : tri wuryono