SEMARANG (jatengtoday.com) – Konsultan Tata Ruang Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Haryanto Joko Santoso menilai, secara prinsip RUU Omnibus Law memiliki tujuan baik. Namun menurut dia, RUU tersebut memiliki berbagai celah yang berpotensi menjadi masalah.
Dalam konteks tata ruang, RUU Omnibus Law berpotensi masalah terkait dampak lingkungan. “Omnibus Law ini sebenarnya niatnya baik. Tapi memang masih ada beberapa substansi yang harus dibenahi. IAP harus punya peran memberi masukan ke IAP pusat untuk kemudian diteruskan ke DPR,” kata Joko usai acara diskusi bertema “RUU Omnibus Law, apa implikasinya terhadap penataan ruang?” di Hetero Space, UMKM Center Jalan Setia Budi, Kota Semarang, Jumat (28/2/2020).
Dijelaskannya, RUU Omnibus Law ini bakal mengatur banyak hal. Terdapat banyak perubahan UU, bahkan sebagian pencabutan UU. “Totalnya ada sebanyak 79 UU. Tata Ruang dalam hal ini dalam konteks pemberian kemudahan investasi hanya ada tiga UU yang diatur. Pertama adalah UU Tata Ruang, kedua UU perencanaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketiga, UU Kelautan dan UU pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,” katanya.
Dia mengakui, sekarang ini adalah era baru. Campur tangan manusia dikurangi, sistem yang akan ditingkatkan. Tata ruang dan perizinan, RUU ini menerapkan “by sistem”. “Nantinya perizinan bukan lagi dikeluarkan oleh orang. Walaupun diterbitkan oleh pemerintah pusat, tetapi ‘by sistem’. Ada satu sistem komputer yang disiapkan untuk menerbitkan izin usaha. Dalam konteks kejujuran, maka ini akan lebih baik,” katanya.
Salah satu syaratnya sesuai dengan rencana tata ruang. Kalau dulu ada izin pemanfaatan ruang. Nah, besok tidak dikenal lagi pemanfaatan ruang. “Prinsipnya hanya persyaratan kesesuaian dengan tata ruang. Kalau sesuai, maka izin usaha itu bakal dikeluarkan. Artinya ini dalam teknisnya akan memangkas waktu ketika dia ingin membuat suatu usaha. Dari mulai mengurus izin hingga menjalankan usahanya,” katanya.
Melalui perubahan sistem Omnibus Law tersebut, diharapkan bisa mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia. “Tapi sebetulnya, pengaruh berkembangnya investasi tidak hanya persoalan kecepatan waktu pengurusan perizinan. Tetapi juga dukungan-dukungan lain, seperti infrastuktur dan seterusnya. Kalau berbicara dampak (ketika Omnibus Law diterapkan), hal yang paling berpotensi menjadi masalah adalah dampak lingkungan,” katanya.
Tata ruang sekarang kalau mengacu pada Omnibus Law, bahwa rencana tata ruang lingkungan hidup harus didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. “Tanpa itu rencana tata ruang tidak sesuai dengan UU Tata Ruang. Artinya, ketika itu dilegalkan maka sangat mudah dipatahkan. Karena tidak ada analisis daya dukung dan daya tampung,” katanya.
Dia memperkirakan, Omnibus Law akan memicu amandemen-amandemen berikutnya. “Karena nanti setelah dilaksanakan, permasalahan-permasalahan baru muncul. Ini baru pertama kali di Indonesia melakukan sistem perubahan perundang-undangan dengan mekanisme Omnibus Law, akan 79 peraturan perundang-undangan yang diganti secara bersamaan,” katanya. (*)
editor : tri wuryono