in

Cerita Dosen Pergoki Rokok di Toilet Ruang Operasi

SEMARANG (jatengtoday.com) – Cerita dosen Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Turtiantoro, yang menjadi salah satu audiens FGD “Mencari Keadilan bagi Konsumen Rokok” cukup menggelitik.

FGD digelar di Gedung Antonius, Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, Sabtu (10/8/2019).
Ia bercerita mengenai dua kebingungannya mengenai permasalahan rokok. Pertama, antara rokok dan kedokteran. “Ceritanya begini, tahun 2013, bulan Juli, saya terkena serangan jantung, kemudian dibawa ke rumah sakit di Semarang. Pagi, pukul setengah enam sudah harus masuk ruang operasi. Ketika itu saya pengin ke belakang. Pengin pipis,” bebernya.

Tak lama kemudian, suster atau perawat yang bertugas saat itu membawanya menuju salah satu toilet yang terletak di dekat ruang tunggu kamar operasi. “Sama susternya digeledek ke ruang samping (toilet). Infus saya bawa. Satu hal yang mengejutkan bagi saya ya ketika saya masuk kamar mandi, di atas Water Closet (WC) tempat air, ada satu pack rokok dan korek,” ungkapnya.

Tentu saja hal itu membuatnya kaget bukan kepalang. Pasalnya, hal tersebut ditemui di sebuah kamar mandi ruang operasi rumah sakit. “Saya kaget, sehingga tidak jadi kencing. Saya ketuk pintu, sus, sus, ini ada rokok milik siapa? Dia jawab o, itu rokoknya pak dokter. Saya tidak perlu menyebut pak dokter itu. Tapi yang jelas itu terjadi di rumah sakit. Ini menarik, karena salah satu nasihat dokter adalah stop merokok! Lho saya tadi menemukan rokok di kamar mandi ruang tunggu operasi. Sebenarnya ini gejala apa? Tidak ketemu nalar? Tidak mau jujur? Atau apa?” ungkapnya disambut tawa audiens.

Kedua, Turtiantoro mengaku memiliki dokumen tentang rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah, untuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Tahun 2018. Isinya tentang pajak daerah terkait rokok. “Ini pajak daerah, bukan cukai di pemerintah pusat,” katanya.

Dijelaskannya, sesuai dengan dokumen tersebut, pajak rokok untuk daerah Provinsi Jawa Tengah pada 2018, senilai Rp 1,975 triliun atau sama dengan 14,40 persen dari total pajak daerah. “Sedangkan perbandingannya, pajak motor kontribusinya 35 persen. Artinya pemasukan pajak rokok di Jawa Tengah sama dengan separuh dari pajak kendaraan bermotor,” katanya.

Ia mengaku hendak menyoroti bahwa kebijakan pemerintah dalam lima tahun belakangan ini berkonsentrasi infrastruktur. Terutama untuk infrastruktur pembangunan jalan, baik jalan provinsi, kabupaten maupun kota. “Pertanyaannya, kalau pajak rokok memberi kontribusi pajak daerah sebesar itu, seberapa besar peran pajak rokok untuk diformulasikan dalam kebijakan tentang urusan rokok secara adil? Selama ini, perokok itu menjadi minoritas. Perokok menjadi makhluk yang terdeskriminasi,” ujarnya.

Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU DIY, Gugun El Guyanie, mengatakan, gerakan anti-rokok berhasil karena mereka menginfiltrasi seluruh norma. Baik di level Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Kesehatan, hingga di DPRD.

“Semua dimasuki dalam rangka mengobrak-abrik. Termasuk di Undang-Undang pajak daerah. Cukai (di pemerintah pusat) sudah dipungut, tapi kenapa masih ada (pungutan) pajak daerah. Itu asas keadilan yang tidak terpenuhi,” bebernya.

Lebih lanjut kata Gugun, di Undang-Undang Kesehatan sudah dicantumkan bahwa setiap pemerintah daerah wajib menetapkan peraturan daerah. (*)

editor : ricky fitriyanto