in

Peringati IWD, LBH APIK Diskusikan Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Hadirnya IWD menjadi momentum dalam merekognisi pencapaian perempuan tanpa membedakan ras, suku, agama, atau golongannya.

SEMARANG (jatengtoday.com) — LBH APIK Semarang bersama dengan Yayasan IPAS Indonesia menggelar diskusi publik dengan tema “Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan”.

Diskusi publik ini juga sekaligus dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Hadirnya IWD menjadi momentum dalam merekognisi pencapaian perempuan tanpa membedakan ras, suku, agama, atau golongannya.

Secara global, IWD menjadi simbol pergerakan perempuan yang secara progresif berupaya meningkatkan kekuatan dan kemandirian perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Hal ini ditujukan pada peningkatan partisipasi perempuan di bidang strategis, seperti halnya sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.

Diskusi ini dbuka oleh Raden rara Ayu Hermawati Sasongko Direktur LBH APIK Semarang sebagai moderator dengan menghadirkan narasumber dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Kabupaten Semarang, Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, dan Paralegal LBH APIK Semarang dari Posko Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Merdeka Semarang.

Ketiga narasumber pada diskusi di atas membahas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual, utamanya hak kesehatan reproduksi, sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dalam diskusi tersebut, Retna Prasetijawati- Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di DP3AKB Kabupaten Semarang menyampaikan bahwa masih terdapat kesenjangan terhadap Indeks Pemberdayaan Gender.

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu belum terpenuhinya keterlibatan perempuan sebanyak 30%, perempuan sebagai tenaga professional (bekerja dan mendapat kerja), dan rendahnya sumbangan pendapatan perempuan.

Retna Prasetijawati juga membagikan tantangan-tantangan DP3AKB Kabupaten Semarang yang dihadapi dalam melakukan pendampingan terhadap kekerasan seksual.

Pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), beberapa kasus berhenti di tengah jalan karena korban memilih mencabut gugatan. Hal ini rata-rata dikarenakan, korban kerap masih bergantung kepada pasangannya, sehingga akhirnya korban memilih untuk bertahan dengan pelaku kekerasan.

Kasus-kasus yang didampingi oleh Retna tidak hanya terjadi dalam ranah domestik tetapi juga publik. Salah satunya yaitu adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren, di kebun, dan di warung.

“Kekerasan di Kabupaten Semarang tahun 2025 memprihatinkan. Maret belum selesai saja, kasus kekekerasan seksual sudah di angka 33 kasus. Dari 33 kasus tersebut, setengahnya terjadi di Pesantren,” ujarnya.

Tingginya angka kekerasan seksual, menjadikan pendidikan seks dan kesehatar reproduksi menjadi lebih penting lagi. Saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang terus menerus melakukan sosialisasi mengenai pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Lebih lanjut, Vina Dhian, Pengelola Program Anak dan Remaja Dinas Kesehatan Kabupaten bemarang, menyampaikan bahwa puskesmas dan rumah sakit juga turut melayani dan memberikan hak-hak korban kekerasan sesuai kompetensinya masing-masing Dinas Kabupaten Semarang juga menyoroti mengenai banyaknya kasus dimana korban kekerasan dinikahkan dengan pelaku.

Menanggapi hal tersebut, Vina Dhian mengatakan, Korban kekerasan yang dinikahkan, itu berarti kita juga turut merusak masa depan korbar tersebut.

Suryati, Paralegal LBH APIK Semarang dari Posko Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Merdeka Semarang, awalnya adalah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT), kemudian bergabung organisasi Serikat PRT Merdeka tahun 2012.

Pada tahun 2016 LBH APIK Semarang mengadakan Sekolah Pelopor Keadilan sehingga Suryati dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai Paralegal untuk bisa mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan.

Banyak tantangan yang dihadapi, seperti ancaman dari pelaku bahkan keluarga korban yang kurang mendukung juga melakukan ancaman. Belum lagi masalah di rumah tangga Suryati sendiri. (*) 

editor : tri wuryono