SEMARANG (jatengtoday.com) – Greenpeace Asia Timur mengungkap temuan terbaru pada 2022 yang menyebut 10.925 anak buah kapal (ABK) migran asal Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berbendera Taiwan di bawah ancaman kerja paksa.
Laporan berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” tersebut menemukan adanya kapal-kapal Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee.
Pasokan tersebut dilakukan melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF). Mereka diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.
Laporan kolaborasi Greenpeace Asia Timur-Taipei dan Greenpeace Amerika Serikat tersebut mewawancarai 27 ABK migran yang beberapa di antaranya adalah orang Indonesia.
Jumlah 10.925 tersebut, berdasarkan catatan Badan Perikanan Taiwan. Tim menemukan bahwa mayoritas mengalami setidaknya satu indikator kerja paksa dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) – seperti lembur berlebihan, pemotongan upah, dan penyitaan dokumen.
Salah satu ABK, Tuan J, yang bekerja di kapal berbendera Taiwan Jubilee mengatakan bahwa ia bekerja setidaknya 16 jam sehari.
“Terkadang pekerjaan kami dimulai pukul 13.00 dan berakhir pukul 05.00, keesokan harinya,” ujarnya dikutip dari rilis greenpeace, Rabu (7/9/2022).
Selain memuat kesaksian para ABK, fokus dari laporan tersebut adalah membuktikan bahwa sistem “Trace My Catch” (TMC) milik Bumble Bee ternyata tidak dapat diandalkan. Sistem tersebut mereka klaim sebagai platform untuk melacak dari mana ikan tuna dalam suatu kemasan ditangkap.
Investigasi Greenpeace menyebut sejumlah temuan. Di antaranya berdasarkan penelusuran yang dilakukan hingga ke Badan Perikanan Taiwan dan Global Fishing Watch, ditemukan 13 dari 119 kapal berbendera Taiwan yang memasok Bumble Bee telah melanggar peraturan perikanan Taiwan. Termasuk dalam daftar ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur dalam IUU fishing.
Sebanyak enam kapal pemasok Bumble Bee dan FFC teridentifikasi melakukan praktik kerja paksa. Tangkapan dari kapal Da Wang, yang awaknya didakwa atas tuduhan terkait kerja paksa dan perdagangan manusia. Selain itu, seorang ABK migran meninggal saat bekerja di kapal tersebut karena kecelakaan kerja.
Greenpeace menilai program Trace My Catch hanya formalitas dan telah memalsukan transparansi. Perlu penegakan hukum yang jelas di seluruh negara yang terlibat dalam rantai industri perikanan global. Seperti AS sebagai salah satu importir makanan laut terbesar di dunia, Taiwan sebagai salah satu pedagang tuna terbanyak di dunia, dan Indonesia yang banyak mengirimkan ABK migran untuk bekerja di kapal-kapal penangkap ikan.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan bahwa laporan tersebut mengungkap peliknya persoalan dalam tata kelola bisnis perikanan global.
“Laporan ini mengkonfirmasi bahwa masih banyak persoalan dalam praktik bisnis perikanan global. Selain itu, banyaknya pelanggaran terutama praktik IUU fishing dan perbudakan terhadap pekerja kapal,” katanya.
Menurut dia, hal ini sangat mengecewakan, karena ternyata traceability atau ketertelusuran ikan dan transparansi kapal-kapal penangkap ikan yang memasok perusahaan sebesar Bumble Bee hingga saat ini tidak jelas.
“Laporan ini juga menegaskan bahwa masih banyak ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan tidak menjalankan aturan sesuai standar kerja yang diatur Konvensi ILO 188,” katanya.
Sejauh ini, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terus berkampanye bersama Greenpeace Indonesia untuk menghentikan perbudakan modern di laut. “Maka dari itu, laporan ini harus menjadi perhatian juga bagi pemerintah Indonesia,” tegasnya.
BACA JUGA:
Perangkap Penjara Tengah Samudera, Pulang Tinggal Nama
Depresi Berujung Petaka, 13 Pelaut Menjemput Maut
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi ILO 188. “Ini sebuah instrumen internasional yang akan memperkuat diplomasi Indonesia serta instrumen hukum pelindungan semua ABK. Baik lokal maupun migran yang sudah ada di negara kita,” katanya.
Hal itu seperti mandat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
“Semestinya pemerintah memperbaiki tata kelola penempatan ABK ke luar negeri ini,” ungkapnya. (*)