JAKARTA (jatengtoday.com) – Skema perlindungan bagi pekerja berupa Jaminan Hari Tua berbeda dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Penambahan program JKP diklaim tidak mengurangi program jaminan sosial yang sudah ada.
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Jaminan Hari Tua merupakan perlindungan pekerja atau buruh untuk jangka panjang, sementara Jaminan Kehilangan Pekerjaan merupakan perlindungan pekerja jangka pendek yang juga diberikan kepada pekerja dan buruh.
“Saat ini ada 2 program perlindungan pekerja dan dapat disampaikan bahwa Jaminan Hari Tua berbeda dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan,” kata Menko Airlangga Hartarto dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Senin (14/2/2022).
Baca Juga: Kejam! Jaminan Hari Tua BPJS Baru Bisa Dicairkan di Usia 56 Tahun
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) pada 4 Februari 2022 mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Namun banyak pihak yang memprotes pemberlakuan peraturan tersebut mulai dari serikat pekerja hingga anggota DPR, khususnya soal aturan pencairan manfaat JHT.
Menko Airlangga menyebut JHT dirancang untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi pekerja saat yang bersangkutan tidak produktif lagi atau memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
“Manfaat JHT adalah akumulasi iuran dari pengembangan, manfaat lain yang dapat dicairkan dengan persyaratan tertentu yaitu telah mengikuti kepesertaan minimal 10 tahun dan nilai yang dapat diklaim maksimal 30 persen dari JHT untuk kredit perumahan atau keperluan perumahan atau paling banyak 10 persen di luar kebutuhan perumahan,” tambah Airlangga.
Akumulasi Manfaat
Menurut dia, dengan adanya Permenaker Nomor 2/2022 tersebut, akumulasi manfaat yang diterima pekerja akan lebih besar jika peserta mencapai usia pensiun yaitu 56 tahun.
“Pemerintah tidak mengabaikan perlindungan bila pekerja ter-PHK sebelum usia 56 tahun. Pemerintah memberikan perlindungan bagi pekerja berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak,” ungkap Menko Airlangga.
JKP, menurutnya, adalah jaminan sosial baru yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
“JKP adalah jaminan sosial untuk melindungi pekerja/buruh yang terkena PHK agar dapat mempertahankan derajat hidup sebelum masuk ke pasar kerja,” tambah Menko Airlangga.
Baca Juga: Anggota DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Aturan JHT Cair Usia 56 Tahun
Ia menyebut JKP adalah perlindungan jangka pendek untuk pekerja karena langsung mendapatkan manfaat seketika saat berhenti bekerja.
“Penambahan program JKP tidak mengurangi program jaminan sosial yang sudah ada. Saya ulangi JKP tidak mengurangi manfaat perlindungan sosial yang sudah ada dan iuran JKP tidak membebani pekerja dan pemberi kerja karena besaran iuran sebesar 0-46 persen dari upah berasal dari pemerintah pusat,” tegas Menko Airlangga.
Permenaker Nomor 2 tahun 2022 berlaku mulai 4 Mei 2022. Peraturan baru itu menyebutkan pencairan JHT bisa dilakukan sebelum masa pensiun hanya sebesar 30 persen dengan syarat. Sedangkan untuk pencairan saldo JHT secara penuh, hanya dapat dilakukan saat peserta mencapai usia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Sementara dalam aturan sebelumnya, dana pekerja yang ada di dalam program JHT dapat langsung dicairkan 1 bulan setelah tidak bekerja atau mengundurkan diri.
Masalah Baru
Sementara, dalam keterangan terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan, JKP yang dibuat Pemerintah untuk menyiasati pekerja yang kehilangan pekerjaan juga belum sepenuhnya mampu memenuhi keinginan buruh, beban, masih perlu kejelasan dan sosialisasi tentang JKP tersebut.
“JKP ini bisa didapat kalau kemudian pekerja atau peserta masuk ke dalam program BPJS secara lengkap, program jaminan kesehatan, program kecelakaan kerja, jaminan kematian, pensiun, termasuk JHT,” katanya.
Masalahnya, belum semua pekerja di-cover seluruh program jaminan sosial ini. Banyak pekerja sudah jadi peserta program JHT tapi belum ikut program jaminan pensiun.
Selain itu, banyak pengusaha yang menunggak iuran. Peserta belum tentu bisa mendapatkan JKP.
“Pengusaha nunggak saja satu atau dua bulan pas terjadi, maka tidak mendapatkan klaim jaminan kehilangan pekerjaan. Tentu ini harus dipertimbangkan dan dihitung kembali dalam situasi ini,” katanya.
Menurutnya, saat ini banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), kemudian kemampuan keuangan perusahaan yang tak maksimal yang mengakibatkan tenaga kerja tidak langsung dapat pesangon. Situasi ini, kemudian membuat pekerja mengandalkan tabungan JHT sebagai solusi darurat. (ant)