SEMARANG (jatengtoday.com) – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam Permenaker ini diatur, bahwa pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) bagi buruh yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) baru bisa diambil apabila buruh tersebut berusia 56 tahun.
Artinya, apabila ada kasus buruh mengundurkan diri dari perusahaan, maupun terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di usia 30 tahun, maka buruh tersebut harus menunggu 26 tahun untuk bisa mencairkan tabungan JHT tersebut.
“Pemerintah sepertinya belum puas menindas kaum buruh,” kata Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah , Aulia Hakim, Sabtu (12/2/2022).
Dikatakannya, KSPI Jateng mengecam keras sikap Menaker yang sudah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut. “Bayangkan, ketika buruh yang ter-PHK berusia 30 tahun, JHT buruh tersebut baru bisa diambil setelah menunggu 26 tahun, atau ketika usianya sudah mencapai 56 tahun. Kejam dan sadis!” katanya.
Menurut dia, keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan yang mengakibatkan upah buruh di beberapa daerah tidak naik telah menindas hak pekerja, ditambah lagi ini muncul kebijakan baru tentang JHT yang ‘membunuh’ buruh.
“Ini bencana bagi kalangan buruh. JHT adalah satu satunya harapan buruh setelah pesangon sudah luluh lantak oleh UU Cipta Kerja Omnibus Law. Kebijakan ini sama artinya membunuh secara pelan dan sadis kepada kaum buruh! Ini tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Aulia menilai, kebijakan “ngawur” ini berpangkal dari sikap pemerintah yang melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
“KSPI mendesak pemerintah untuk segera mencabut Permenaker No 2 tahun 2022. Sebab dalam aturan sebelumnya, Presiden Jokowi memerintahkan Menaker untuk membuat aturan agar JHT buruh yang ter PHK dapat diambil oleh buruh yang bersangkutan ke BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) setelah satu bulan di-PHK,” katanya.
Permenaker ini, kata Aulia, sama artinya menjilat ludah sendiri dari kebijakan Presiden Jokowi dalam upaya membantu buruh yang ter-PHK dan kehilangan pendapatannya agar bisa bertahan hidup dari JHT.
“Aturan ini sangat berdampak luas, MK dalam putusan Judical Review pada 25 November 2021, diktum 7 menyatakan melarang pemerintah selama 2 tahun tidak boleh membuat aturan yang berdampak luas ke masyarakat,” katanya.
Bahkan, munculnya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa sekarang ini seperti sudah tidak ada hukum, karena pemerintah justru mengajari rakyat untuk melanggar hukum dengan melawan putusan MK.
“Buruh yang ter-PHK harus menunggu puluhan tahun untuk mencairkan JHT-nya. Padahal buruh tersebut sudah tidak lagi memiliki pendapatan. Kami tidak habis pikir. Padahal saat ini, investasi di BPJS Ketenagakerjaan ini sepanjang 2021 tercatat mencapai Rp 553,50 triliun,” katanya.
Pertanyaannya, lanjut Aulia, mengapa uang buruh yang ditabung di BPJS Ketenagakerjaan—yang kemudian dilabeli JHT oleh pemerintah, justru ditahan hingga usia 56 tahun?
“Bagaimana pengelolaan uang tersebut? Sedang buruh sangat berharap sekali uang itu untuk masa depan keluarganya setelah PHK. Apalagi ter-PHK di masa pandemi ini,” tegasnya.
BACA JUGA: Anggota DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Aturan JHT Cair Usia 56 Tahun
Pihaknya menyatakan siap melakukan aksi turun ke jalan untuk menolak kebijakan pencairan JHT tersebut. “Kami akan melakukan aksi besar-besaran ke dinas tenaga kerja dan BPJS,” katanya. (*)