JAKARTA (jatengtoday.com) – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebutkan bahwa ada upaya suap yang dilakukan oleh pihak Maria Pauline Lumowa agar pembobol kas Bank BNI senilai Rp 1,2 triliun itu tidak diekstradisi.
“Selama proses ini ada negara dari Eropa juga yang mencoba melakukan diplomasi-diplomasi agar beliau tidak diesktradisi ke Indonesia, dan ada pengacara beliau yang mencoba melakukan upaya-upaya hukum juga. Sebelum saya berangkat, saya berbicara dengan Asisten Menteri Kehakiman (Serbia) di bandara, beliau mengatakan ada upaya-upaya semacam melakukan suap,” kata Yasonna dalam jumpa pers di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (9/7/2020).
Yasonna mengatakan upaya untuk menggagalkan proses ekstradisi terhadap wanita yang telah buron selama 17 tahun itu tidak terwujud berkat diplomasi hukum tingkat tinggi yang dijalankan pemerintah Indonesia, serta komitmen tegas pemerintah Serbia untuk mengekstradisi Maria ke Indonesia.
“Dengan pendekatan diplomasi ‘high level’ dalam bidang hukum dan persahabatan akhirnya kita bisa membawa beliau kembali dengan sukses, dapat kita bawa kembali supaya dapat menjalani proses hukum sebagaimana mestinya,” kata Yasonna.
Diketahui, Maria Pauline Lumowa diekstradisi dari Serbia pada Rabu (8/7). Yang bersangkutan tiba di Indonesia pada Kamis siang, dan langsung diserahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Keberhasilan proses ekstradisi tersebut tidak lepas dari diplomasi hukum tingkat tinggi dan hubungan baik antarkedua negara.
Angka Kerugian Negara
Dalam kesempatan yang sama, Yasonna Laoly menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria Pauline Lumowa dari kas Bank BNI pada 2003 lalu sebesar Rp 1,2 triliun. “Beliau adalah seorang pembobol BNI dengan teman-temannya yang lain melalui L/C (Letter of Credit) fiktif yg terjadi pada tahun 2003 sebesar Rp 1,2 triliun,” ujar Yasonna.
Hal tersebut sekaligus meluruskan pemberitaan sebelumnya yang menyebut bahwa jumlah uang yang dibobol oleh Maria dari kas BNI sebesar Rp 1,7 triliun, yang dikutip dari siaran pers Kementerian Hukum dan HAM terkait ekstradisi terhadap Maria Pauline pada Rabu (8/7). Yasonna menjelaskan, munculnya angka Rp 1,7 triliun tersebut kemungkinan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan kurs dollar saat ini.
“Jadi begini, boleh saja mungkin itu perhitungan kurs. Jadi kalau dalam data kita masih Rp 1,2 triliun. Mungkin wartawan lihat-lihat kursnya, itu bisa Rp 1,7 (triliun) atau bisa lebih, ini kan kurs dollar. bisa nanti dihitung kalau ditambah bunga, ditambah profitnya mungkin itu lebih hebat lagi,” kata Yasonna.
Yasonna mengatakan, terkait jumlah pasti kerugian negara yang diakibatkan aksi pembobolan oleh Maria dan tersangka lainnya, akan dihitung oleh pengadilan. “Biarlah nanti penghitungan itu dari pengadilan akan menghitung berapa kerugian negara, jaksa tentunya dalam tuntutannya akan menghitung kembali berapa kerugian negara,” kata Yasonna.
Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari ‘orang dalam’ karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. (ant)
editor : tri wuryono