SEMARANG (jatengtoday.com) – Sekretaris Umum Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Tengah, Rosid Sujono tampak berhati-hati dalam menanggapi permasalahan dugaan kolusi dalam distribusi obat tersebut.
Dia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, praktek pekerjaan kefarmasian antara lain mulai dari pengadaan, penyiapan, pembuatan dan penyerahan, serta distribusi obat kepada masyarakat.
Praktek kefarmasian melayani kesediaan farmasi. UU Kesehatan dan Farmasi menyangkut obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.
“Apotek fokusnya obat. Jadi tidak hanya sekadar menerima resep. Boleh menerima kefarmasian tanpa resep, cuman pemerintah mengatur ada tidaknya penggolongan obat bebas, obat keras, obat keras terbatas, dan lain-lain. Kalau terkait resep, ya wajib dilayani sepanjang apotek tersebut tersedia sesuai resep dokter yang diberikan,” terangnya, dikonfirmasi jatengtoday.com, belum lama ini.
Lebih lanjut, kata dia, apoteker memiliki kode etik. Dalam sumpah apoteker sudah jelas, bahwa apoteker tidak boleh membocorkan rahasia pasien. “Tidak boleh memilih-milih suku, ras, agama dan golongan. Semua harus dilayani. Basic-nya ada di sumpah apoteker. Mengenai kode etik apoteker ini sangat banyak. Misalnya kode etik terhadap sejawatnya sesama apoteker, kode etik terhadap praktek profesi yang lain misalnya dokter, perawat, bidan dan lain-lain. Terakhir kode etik terhadap masyarakat, tidak boleh menolak pelayanan kefarmasian dari siapapun,” katanya.
Tugas apoteker, tenaga teknis kefarmasian, dokter, maupun perawat, harus saling menghormati masing-masing. Mengenai tudingan terjadinya praktik kolusi obat melalui resep dokter, Rosid enggan menanggapi lebih jauh.
“Berdasarkan sumpah profesi apoteker itu kan sudah jelas. Kami melayani dengan berorientasi untuk kesembuhan pasien. Tidak boleh memilih-milih. Kalau ada seperti itu sih ya Wallahu a’lam. Praktek farmasi yang penting ketika ada permintaan dari profesi yang lain, seperti dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain ya harus dilayani,” katanya.
Dia tidak memungkiri, dalam bisnis farmasi kental dengan praktik kapitalistik. “Kami tidak munafik, ke arah kapitalistik. Tentu kalau kapitalnya kuat, modal kuat, secara bisnis akan kuat pula. Tapi kami masih optimis dan percaya. Walaupun sekarang yang tidak bisa dipungkiri bahwa (apotek) yang nge-link dengan BPJS, akan banyak bisnis obatnya. Tapi bagi yang enggak ya mesti berjuang,” ujarnya.
Rosid juga enggan mengomentari pertanyaan seputar seluk beluk resep dokter. Tudingan adanya perjanjian khusus antara mata-rantai perusahaan obat melalui detailer, dokter dan apoteker?
“Terkait dengan profesi yang lain (dokter), saya tidak bisa berkomentar. Nanti menyalahi kode etik profesi. Sebenarnya kalau semua berjalan berdasarkan etik dan etika bisnis, seharusnya tidak melakukan hal-hal di luar konteks bisnis tersebut. Sebagai contoh bisnis obat keras tidak boleh menggunakan cara-cara yang tidak diperkenankan. Tidak boleh pasang iklan, harus ada petunjuk dokter, dan lain-lain,” katanya.
Berantas Kolusi Obat, Hanya Perlu Niat Baik dan Keseriusan Pemerintah
Sementara itu, pakar Teknologi Informasi (TI), Dr Sholichul Huda saat dimintai analisis mengenai dugaan kolusi dalam bisnis obat menjelaskan, masalah distribusi obat dan pengendalian harga obat dikoordinasikan oleh BPOM atau dinas kesehatan.
“Penggunaan sistem informasi merupakan salah satu alat yang efektif untuk pengendalian distribusi dan harga obat yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat,” katanya.
Memang yang paling berperan penting adalah Dinas Kesehatan, paling tidak bisa mengontrol ketersediaan obat dan harga yang ditawarkan oleh perusahaan farmasi. Data yang diperoleh Dinas Kesehatan kabupaten atau kota selanjutnya diwajibkan dikirim ke Kementerian Kesehatan sehingga data bisa terupdate setiap bulan.
“Konsep ini mengadopsi sistem cek indentitas nasabah (BI checking), sehingga semua pemohon kredit dapat dicek di data Bank Indonesia ini. Kalau di Kementerian Kesehatan mengadopsi dengan perbaikan sedikit, kelangkaan obat, distribusi obat dan harga obat dengan mudah dikendalikan oleh pemerintah,” katanya.
Melihat keluhan masyarakat akan mahalnya harga obat dan sering bergantinya jenis obat, pemerintah—dalam hal ini—Kementerian Kesehatan seharusnya turun tangan dengan membangun sistem informasi tersebut.
Di beberapa rumah sakit yang dimiliki oleh yayasan besar atau organisasi kemasyarakatan di seluruh pelosok tanah air, biasanya mereka sudah memiliki bagian yang khusus bertugas mengontrol dan mengadakan obat di rumah sakit tersebut.
“Namun demikian, mereka tidak berdaya dengan harga obat yang ditawarkan oleh pabrik farmasi. Mengapa? Karena biasanya sales obat pertama kali yang ditawari adalah dokter, dan dokter yang mereferensikan ke bagian pengadaan obat tentang jenis obat yang harus dibeli oleh rumah sakit atau pasien, dan apotek pastinya akan menyesuaikan obat yang digunakan oleh dokter bukan oleh masyarakat,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, lanjut Sholichul, secara otomatis ketergantungan perusahaan farmasi dengan dokter pastilah tinggi. “Solusinya, semua perusahaan farmasi yang akan menjual obatnya harus terkoneksi atau mengirim data obat lengkap dengan harganya ke Kementerian Kesehatan. Dengan konsep ini, pemerintah mengetahui harga obat aslinya dan dapat membandingkan dengan harga obat yang ada di apotek atau di pasaran. Paling tidak model ini mengurangi prasangka jelek oleh sebagaian masyarakat tentang adanya permainan harga obat oleh oknum,” katanya.
Huda mengaku pernah memiliki pengalaman ketika mendapat resep obat untuk antibiotik. “Saya sering minta ganti resep. Mengapa? Karena di resep pertama harganya selangit. Akhirnya saya minta resep antibiotik yang harganya hanya 3 persen dari harga obat resep pertama, dan sembuh juga. Saya curiga ketika berobat kok ditanya tentang pekerjaan saya. Akhirnya dikasih resep antibiotik yang harganya selangit tersebut. Padahal setelah kembali ke antibiotik yang murah, sakit saya juga sembuh total. Praktik-praktik seperti ini yang harus diberantas oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak dirugikan,” katanya.
Kebutuhan sistem informasi ini sangat penting. Memang, lanjut dia, pemerintah sudah membuat regulasi tentang keharusan kepemilikan ahli IT di rumah sakit. Namun sistem informasi seperti ini belum diterapkan. “Konsepnya sederhana, SDM kita juga tersedia, insfrastruktur juga cukup terjamin, hanya niat baik dan keseriusan pemerintah yang diperlukan,” imbuhnya.
Dia yakin, kalau perusahaan farmasi juga mendukung dan kerjasama, karena prinsipnya mereka juga sadar, persaingan penjualan obat sangat ketat sehingga mereka pasti ingin menjual obat dengan harga yang paling murah.
“Kalau Dinas Kesehatan, perusahaan farmasi, apotek, toko obat dan lain lain yang berkaiatan dengan harga serta distribusi obat mau bekerjasama, pasti komplain masyarakat akan turun drastis. Pemerintah juga tidak terlalu terbebani dengan biaya kesehatan masyarakat baik lewat BPJS maupun lainnya. Data ini juga berguna untuk keperluan lain, misalnya menganalisis siapa oknum yang sering memainkan harga obat tersebut,” bebernya. (*)
editor: ricky fitriyanto