“Apotek yang kerja sama dengan dokter ya harus memberi jatah fee. Rata-rata, fee untuk dokter ini berkisar antara 3 persen hingga 10 persen dari total penjualan obat resep,”
SEMARANG (jatengtoday.com) – Seorang lelaki necis mengenakan kemeja dan menenteng tas warna hitam tampak tenang melangkah menuju ruang tunggu di RS Panti Wilasa Semarang siang itu.
Sesaat setelah melihat jam tangan, ia menuju kursi tunggu warna hitam berbahan besi, lantas duduk di antara pasien yang sedang mengantre hendak periksa rawat jalan.
Kurang lebih pukul 12.50 WIB, jatengtoday.com berusaha menyapa pria tersebut untuk meminta izin duduk di sampingnya. Ia pun membalas sapaan itu dengan ekspresi datar.
“Lagi menunggu antrean periksa atau mengantar saudara mas?” tanya jatengtoday.com berusaha membuka percakapan.
“Enggak mas. Saya ada janjian bertemu salah satu dokter,” ujar pria tersebut.
Perbincangan pun mengalir, meskipun pria itu lebih memilih irit bicara dan selalu menjawab dengan kalimat singkat. Tampak pria tersebut meletakkan lembaran kertas berwarna merah muda dan bolpoin warna kuning. Paling atas tertulis Form Service Level Kepuasan Pelanggan.
Di bawahnya tertulis nama customer seorang dokter yang bertugas di RS Panti Wilasa dr. Cipto Semarang. Terlihat kolom-kolom dan daftar nama brand obat seperti Amlocor, Angintriz, Bisovell, Nospirinal, Novales, Novusta, QTen, Prohytens, Rexidron, Candotens, Notish dan lain-lain.
“Saya bekerja sebagai medrep (medical representative),” jawabnya saat ditanya mengenai pekerjaan.
Lebih jauh berbincang, dia menjelaskan terkait pekerjaannya sebagai medrep. Hampir setiap hari berkeliling dari rumah sakit ke rumah sakit, klinik, hingga apotek. Salah satu tugasnya adalah melobi dokter agar bersedia memasukkan brand obat milik perusahaannya ke dalam resep.
“(Lobi dokter) Dibilang sulit ya sulit. Dibilang gampang ya gampang. Gimana ya, kalau bagi saya yang penting berusaha mengenal dulu lah, mengenal dokter tersebut secara lebih dekat. Yang susah itu kalau dari nol,” ujar medrep yang sebelumnya bertugas di Jakarta tersebut.
Di RS Permata Medika Semarang pun serupa. Sejumlah lelaki berpenampilan rapi dan menenteng tas besar sedang menunggu janjian bertemu dengan dokter. Saat ditanya oleh jatengtoday.com, mereka mengaku berasal dari perusahaan farmasi berbeda-beda dan akan bertemu dokter berbeda-beda pula.
“Kami sama-sama ditarget penjualan obat oleh perusahaan. Sesama medrep saling menghormati pekerjaan. Rezeki sudah ada yang mengatur. Ini kan namanya ikhtiar,” ungkap AR, medrep yang lain.
Dia menjelaskan, pertemuan dengan dokter dibutuhkan kesabaran untuk “nyanggong” (menunggu) dokter. “Biasanya setelah keluar dari ruang praktek, dokter baru bisa menerima tamu. Saya khusus menawarkan obat paten. Sekarang agak sulit, sejak adanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Tapi obat paten tidak mungkin dihilangkan, karena khasiatnya sudah diakui lebih bagus ketimbang obat generik,” klaim dia.
Seorang medrep atau juga sering disebut detailer, menjadi garda terdepan pemasaran obat bagi perusahaan farmasi. Mereka bekerja sistematis dengan diperlukan kepiawaian melobi secara terselubung. Antara medrep, dokter dan apoteker menjadi mata-rantai tak terpisahkan dalam distribusi obat.
Sayangnya, siklus mata-rantai pelayanan kesehatan ini justru cenderung tidak sehat. “Bisik-bisik mesra” secara terselubung antara medrep, apoteker, dan dokter itu masih saja terjadi. Bahkan telah puluhan tahun mengakar, praktik mafia obat sulit dihilangkan.
Di kalangan pelaku bisnis obat, praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Keberadaannya sulit terbongkar, karena menjadi mata-rantai yang saling menguntungkan.
“Medrep akan memilih dokter yang punya pasien banyak, terutama dokter spesialis. Kami datang dan tawarkan produk. Apabila dokter tertarik, nanti saya buatkan CN,” demikian pengakuan eks medrep, sebut saja—Adri, saat berbincang dengan jatengtoday.com di sebuah kafe di Jalan Dr Soetomo Semarang, belum lama ini.
CN adalah Credit Note (nota kredit). Merupakan istilah yang sering digunakan medrep untuk menjalin kerja sama dengan dokter. “Kalau setuju, dokter tak jarang langsung blak-blakan. Pernah klien saya menyampaikan syarat ‘tolong dibantu untuk kuliah anak saya’. Saya jawab ‘Oke saya save’. Artinya sepakat,” ungkapnya.
Pria yang pernah bekerja di perusahaan farmasi yang berkantor di Jakarta ini mengatakan, oknum dokter ada yang menembak tarif ‘entertainment’ secara langsung. “Kalau saya dulu, untuk dokter spesialis di kisaran Rp 50 juta. Untuk dokter umum di kisaran Rp 10 jutaan. Setiap dokter bisa berbeda-beda. Tergantung permintaan dan kesepakatan,” bebernya.
Selanjutnya medrep melakukan pelaporan kepada pimpinan, yakni supervisor, district manager, dan area sales manager. “Saya sampaikan bahwa dokter A butuhnya Rp 50 juta. Tiga pimpinan tersebut kemudian melakukan rapat untuk mengkaji apakah dokter tersebut layak memenuhi target penjualan atau tidak,” katanya.
Selanjutnya dilakukan simulasi atau uji coba. Misalnya ditentukan selama lima hari, apakah resep dokter yang telah memasukkan brand obat tertentu melalui apotek yang ditunjuk tersebut memenuhi target penjualan atau tidak.
“Kami melakukan pengecekan, misal selama lima hari, resep dokter tersebut sesuai harapan dan sudah teruji sehari bisa 10 R (10 resep) dalam kurun waktu tertentu, maka perusahaan farmasi segera mencairkan ‘fee entertainment’ dengan perjanjian kerjasama misalnya tiga bulan,” terang Adri.
Diterangkannya, dokter biasanya memilih pencairan secara cash. Prosesnya, uang dari perusahaan ditransfer ke rekening pribadi medrep, kemudian dicairkan dan diberikan secara langsung ke dokter oleh medrep. “Saya sendiri rata-rata hanya diberikan bonus di kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta dari dokter,” katanya.
“Masing-masing medrep dari berbagai perusahaan farmasi berebut mencari dokter yang bisa diajak kerja sama. Bisa juga dokter tersebut, bekerja sama dengan medrep perusahaan A, tapi juga kerja sama dengan medrep perusahaan B,” katanya.
Bonus Mobil untuk Dokter
Tidak hanya sejumlah “uang entertainment” dan fasilitas tiket perjalanan ke luar negeri. Bahkan Adri mengaku pernah memberikan sejumlah mobil untuk sejumlah dokter di Kota Semarang.
Suatu ketika, Adri mengaku melobi seorang dokter spesialis anak di Kota Semarang. Perusahaannya kemudian memberikan mobil Nissan Evalia untuk dokter tersebut.
“Memang, dulu perusahaan farmasi memiliki program pemberian mobil kepada sejumlah dokter. Dengan diberikan mobil tersebut, setiap dokter harus bersedia kerjasama selama lima tahun dengan target tertentu. Tujuan program pemberian mobil kepada dokter tersebut untuk memaksimalkan target penjualan produk,” beber dia.
Tidak hanya itu, perusahaan tempat Adri bekerja juga pernah memberikan sejumlah mobil, seperti Mitsubishi Pajero, Isuzu Panther, Toyota Kijang Innova, dan Toyota Fortuner, untuk sejumlah dokter yang lain.
“Saya bekerja sejak 2008, program pemberian mobil tersebut sudah ada. Namun memasuki 2011-2012, bisnis obat mulai meredup. Saat itu di masa pemerintahan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), aturannya cukup ketat,” katanya.
Namun bukan berarti praktik “bisik-bisik” terselubung ini hilang, bahkan hingga saat ini masih terus terjadi. Meski pola dan nilainya tidak seperti dahulu. Antara perusahaan farmasi Penanam Modal Asing (PMA) dan Pemilik Modal Dalam Negeri (PMDN) biasanya memiliki cara berbeda dalam memberikan gratifikasi “fee entertainment” kepada dokter.
“Kalau PMA, mereka memberi fasilitas ke dokter dalam bentuk pembiayaan perjalanan, tiket, dan lain-lain ke luar negeri. Biasanya bukan dalam bentuk uang cash. Termasuk fasilitas, pelatihan atau workshop ke Eropa yang dibiayai oleh perusahaan farmasi (PMA),” terangnya.
Seorang pasien, sebut saja—Nurhadi, yang ditemui jatengtoday.com usai memeriksakan anaknya di sebuah klinik dokter spesialis anak di Semarang mengaku tidak tidak paham atau tidak bisa membaca resep yang diberikan dokter.
“Saya enggak paham resep ini. Enggak bisa baca (coretan dokter di resep). Asisten dokter mengarahkan untuk beli obat di apotek tak jauh dari klinik. Beli obatnya harus di apotek itu,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari juru parkir yang setiap hari berada di halaman klinik tersebut, pasien yang berobat di klinik tersebut memang harus membeli obat di apotek itu . “Ya harus beli di situ, itu emang apoteknya Pak Dokter, satu paket itu,” kata dia, belum lama ini.
Fee 10 Persen untuk Dokter
Di lain sisi, salah satu pemilik apotek di Semarang, LAN (45), memberi keterangan cukup mengejutkan. Bahkan ia sendiri—yang menjadi salah satu bagian dari pelaku dalam bisnis obat—merasa mata-rantai bisnis obat tersebut seperti ‘lingkaran setan’ yang sulit diberantas.
“Apotek yang kerja sama dengan dokter ya harus memberi jatah fee. Rata-rata, fee untuk dokter ini berkisar antara 3 persen hingga 10 persen dari total penjualan obat resep,” beber LAN, Senin (15/6/2020) lalu.
Menurut dia, usaha apotek beberapa tahun belakangan ini—terutama apotek bermodal kecil—semakin terjepit. Bahkan terancam gulung tikar karena kalah modal dengan apotek yang dibekingi pemodal besar. Bagaimana tidak, apotek ketika membeli obat dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen sebelum penjualan.
“Setelah obat dijual, dikenai Pajak Penghasilan (PPh) 1 persen. Itu masih ditambah lagi untuk fee dokter mulai dari kisaran rata-rata 3 persen hingga 10 persen. Dampaknya, harga obat menjadi mahal. Siapa yang dirugikan? Jelas, konsumen,” ungkapnya.
Dijelaskannya, mark up dari Harga Netto Apotek (HNA) atau harga awal apotek dalam membeli obat dari Pedagang Besar Farmasi, rata-rata ditentukan margin kurang lebih 30 persen. “Karena menanggung beban Pajak PPN 10 persen dan PPh 1 persen dan ditambah fee untuk resep dokter antara 3-10 persen tersebut, mau tidak mau, harga obat dinaikkan. Akibatnya harga obat menjadi mahal,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman dia, ada dua pola permainan dalam bisnis obat. Pertama, perusahaan farmasi melalui medrep melobi oknum dokter dengan perjanjian tertentu. Kedua, apotek melobi ke dokter dengan perjanjian tertentu. “Ketiga, dokter tersebut memiliki apotek sendiri. Fenomena sekarang ini banyak dokter memiliki saham untuk mendirikan apotek sendiri. Jika sudah seperti itu, apotek kecil terancam gulung tikar,” katanya.
Menurut dia, mata-rantai “mafia obat” tersebut sulit dibongkar karena telah mengakar sangat kuat. “Praktiknya terselubung dan sangat sulit dibuktikan. Jangankan cuma media, negara saja tak berdaya. Dinas Kesehatan hingga Kementerian Kesehatan pun bungkam. Kecuali kalau KPK serius turun tangan dengan cara melakukan penyadapan, baru semua akan terbongkar. Mereka bekerja sangat rapi, termasuk fee untuk dokter pun hanya berupa perjanjian lisan,” katanya.
Jatengtoday.com berusaha mengonfirmasi sejumlah perusahaan farmasi di Kota Semarang mengenai dugaan praktik kolusi dalam distribusi obat. Namun sejumlah pejabat penting perusahaan farmasi tersebut enggan memberikan keterangan lebih lanjut.
Salah satunya Corporate Secretary PT Phapros Tbk, Zahmilia, tak berkenan menjelaskan sejumlah draf wawancara yang dikirimkan jatengtoday.com.
“Untuk hal tersebut bersifat sangat teknis dan banyak mengandung confidential info dari perseroan. Jika memang ingin mengetahui, maka harus bersurat secara resmi pak untuk wawancaranya dan disebutkan goalsnya apa,” ujarnya sebelum akhirnya tidak memberi respons lanjutan.
Direktur RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang, Susi Herawati menjelaskan distribusi obat pengadaannya melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) menggunakan E-Katalog yang dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). “Tidak ada proses lelang,” katanya.
Sehingga Susi memastikan bahwa pihak rumah sakit tidak terlibat dalam dugaan kolusi pengadaan obat. “Saya tidak paham tentang itu (kolusi), karena kami semua menggunakan obat sesuai dengan ketentuan. Formularium dan harga obat mengacu kepada E-Katalog. Yang menentukan harga obat pemerintah,” katanya.
Adapun apabila ada oknum dokter yang praktik sendiri di luar rumah sakit, kata Susi, bukan menjadi ranah pengawasannya. “Tetapi kalau dokter tersebut pegawai negeri dan praktik di luar, ketika memberikan obat harus seizin pimpinan rumah sakit. Ada kok bukti-buktinya. Pihak perusahaan farmasi akan konsultasi ke kami. Misalnya dia dibiayai untuk ikut seminar (di luar negeri), mereka akan konsultasi ke kami, setuju atau tidak. Itu apakah ada kolusi atau tidak, kita bisa melihat. Apalagi saat ini distribusi obat ini sudah diawasi langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” terangnya.
Rumah sakit sendiri memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI) yang menyelesaikan permasalahan seperti itu. “Kalau dahulu praktik kolusi memang seperti itu. Tapi kalau sekarang sudah begitu ketat,” imbuh dia.
Dibekingi Kekuatan Besar
Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang, Ngargono, menilai bahwa mafia obat masih berlangsung hingga sekarang. Bahkan keberadaannya sangat kuat dan sulit dibongkar. Sebab, ada lembaga besar yang membekingi praktik tersebut. Dampaknya, konsumen menjadi pihak paling rentan dirugikan oleh praktik mafia obat.
Pertama, konsumen tidak mempunyai pengetahuan cukup untuk bisa melihat—apakah obat yang diberikan—rasional atau tidak.
“Misalnya sakit flu, obatnya parasetamol yang kadarnya ringan, tapi dikasih yang berat, harganya mahal. Konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk menolak,” ungkapnya.
Kedua, konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk memilih. Menurut dia, dalam hal ini, negara (pemerintah) salah. “Setahu saya, dokter tidak boleh memberikan obat, apalagi menyebut merek. Dokter hanya boleh memberi diagnosa. Misalnya saya panas, periksa (ke dokter). (Diagnosa) Sakit saya adalah flu. Kalau flu, maka obatnya yang diberikan adalah obat jenis parasetamol. Kalau mau bicara fair (adil), saya dikasih resep oleh dokter dan tidak boleh menunjuk parasetamol merek tertentu. Lalu saya datang ke apotek dan berkonsultasi dengan apoteker. Karena secara tupoksi, yang ahli obat adalah apoteker,” terang dia.
Nah, tugasnya apoteker adalah menjelaskan kepada konsumen. Misalnya jenis parasetamol ini ada bodrex harganya Rp 2.000, Inza harganya Rp 1.800, Sanaflu harganya Rp 2.200, dan lain-lain. “Maka hak konsumen sebetulnya ada di situ. Artinya, proporsi posisi konsumen yang betul harus bisa memilih. Tetapi yang terjadi hingga sekarang kan tidak begitu. Dokter langsung memberi resep dengan menyebut merek A,” katanya.
Persoalan yang lebih rumit lagi, menurut Ngargono, terkait praktik kolusi di balik resep obat. Praktik kolusi ini terjadi antara produsen obat tertentu dengan dokter, supaya dokter itu meresepkan obatnya. “Produsen obat memiliki kepanjangan tangan yakni detailer (medrep). Melalui detailer inilah—yang tugasnya mempengaruhi dokter—kemudian dokter tersebut meresepkan obat tersebut di apotek mana saja. Nanti sudah ada hitung-hitungannya,” beber dia.
Apabila dokter tersebut bisa memperoleh jumlah penjualan obat sekian dari resep, lanjut dia, maka dokter tersebut memperoleh bonus.
“Kira-kira modusnya begitu. Maka konsumen sangat sulit menolak atas apa yang diresepkan dokter. Namanya orang sakit ya apa yang dikatakan dokter pasti dituruti,” tandasnya.
Persoalan lain, mengapa harga obat mahal? Sejumlah faktor di antaranya adalah adanya biaya riset, biaya promosi, termasuk membayar detailer, iklan, pajak dan lain sebagainya. Mengenai dugaan jatah fee resep 3-10 persen dari apotek ke dokter, ia mengaku belum mengetahui. “Apabila terbukti seperti itu, saya orang pertama kali yang akan menentang. Tanpa itu saja, kondisi sekarang sudah tidak karuan,” kata dia.
Hal ganjil lain yang menyimpan pertanyaan adalah mengapa resep dokter berupa tulisan tangan dan cenderung tidak jelas. Resep tersebut seperti sengaja ditulis tidak jelas agar tidak terendus oleh publik. Konsumen kebanyakan tidak bisa membaca resep tersebut. Hanya dokter dan apoteker yang paham. Hal itu memunculkan dugaan adanya komunikasi yang disembunyikan alias modus permainan.
“Kalau saya sebut (modus), iya. Saya pernah menyuarakan ini sejak 2008, resep dokter harus tertulis secara jelas. Seharusnya secara elektronik atau diketik. Supaya kita (konsumen/masyarakat) bisa tahu, bisa dibaca untuk kemudian dibawa ke apotek. Dari situ konsumen bisa mengetahui bahwa dalam memberikan obat ini rasional atau tidak. Mengapa terjadi demikian, ya karena mereka sudah mempunyai ‘ikatan-ikatan’ tertentu dengan produsen obat,” tandasnya.
Resep dokter yang tidak jelas tersebut, menurut Ngargono, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008, tentang hak atas keterbukaan informasi publik. Selain itu ada Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen terkait hak atas informasi. “Terus terang, banyak bergesekan antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran, yakni UU Nomor 29 Tahun 2004,” katanya.
Bolehkah seorang dokter memiliki atau terlibat mengelola apotek? Menurut Ngargono, boleh saja. “Begini, selama dokter tidak mengarahkan, tidak memaksa, tidak mendoktrin, tidak mengintimidasi konsumen untuk membeli obat di apotek tertentu itu boleh saja. Saya terus terang baru mendengar ini (fenomena apotek milik dokter). Kalau seperti itu, tekanan kepada konsumen semakin masif,” katanya.
Praktik kolusi dalam mata-rantai bisnis obat—menurut dia—dibekingi oleh kekuatan besar. Ia menegaskan bahwa hingga sekarang praktik kolusi tersebut masih terus terjadi.
“Khusus untuk obat dan pelayanan jasa kesehatan ini terbentur oleh kekuatan besar. Menurut saya, ini harus didobrak. Mereka cukup kuat karena di belakangnya ada kekuatan besar. Jangankan konsumen, negara saja belum berani, belum berdaya,” tegasnya.
Kepala Kantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Dendy R. Sutrisno, mengatakan praktik terselubung dalam bisnis obat kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan dahulu. Artinya, hubungan mata-rantai perusahaan farmasi, dokter dan apoteker cenderung masih kerap disalahgunakan.
KPPU sendiri beberapa tahun lalu pernah melakukan kajian dan riset mengenai praktik mata rantai industri farmasi ini. Hasilnya bahwa ada temuan “monopoli by agent” atau monopoli yang diageni. Siapakah agen tersebut? Di situ ditemukan adanya peran sejumlah oknum dokter. Salah satunya melalui resep dokter. “Dokter harus bekerja dan memegang teguh kode etik yang selama ini ada di bidang medis. Sehingga harus memilih obat berdasarkan medis. Bukan karena bonusnya (dari perusahaan farmasi) gede,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Moch Abdul Hakam menyangkal hal itu. Menurutnya saat ini sudah tidak ada praktik resep dokter yang mengarah kepada “kolusi obat”. Dia menjelaskan distribusi obat saat ini mengacu regulasi sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tahun 2019, serta Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 34 Tahun 2014 dan PMK Nomor 3 Tahun 2015.
Disampaikannya, bahwa seluruh layanan kesehatan baik Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) meliputi puskesmas, klinik, dokter keluarga, dan rumah sakit, semua harus melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF), distribusi besar.
“PBF itu nanti distribusinya melalui apotek yang di dalamnya ada apoteker. Termasuk misalnya Klinik Pratama maupun Klinik Utama, itu pun ketika di dalamnya ada instalasi farmasi harus ada seorang apoteker. Sehingga kegiatan pendistribusian obat ini memang secara peraturan dilegalkan,” terang dia.
Masing-masing dari PBF kemudian turun ke apotek, baik apotek FKTP maupun apotek di rumah sakit, di dalamnya terdapat apoteker yang harus memuat surat izin apoteker. “Ketika di dalam melayani kesehatan sudah didapatkan seorang apoteker, proses peresepan—kemudian proses pemberian obat—ke pasien, itu bisa dilegalkan. Ada sebuah penyedia besar farmasi. Misalnya pabrik vaksin, kemudian dia lari ke distributor. Dia nanti akan turun ke FKTP, puskesmas, dokter keluarga, klinik, atau rumah sakit, di dalamnya semua ada apoteker. Maka di Puskesmas pun, seorang dokter harus menuliskan resep. Ketika pasien ini ingin mendapatkan obat. Jadi harus melalui resep ini,” bebernya.
Nah, lanjut Hakam, sekarang ini zaman adalah era digital. Sehingga penulisan resep tidak lagi menggunakan tulisan tangan atau secara manual. “Sekarang ada elektronik resep atau e-resep, jadi melalui inputan temen-temen dokter itu langsung menuju ke instalasi farmasi yang di dalamnya ada seorang apoteker. Itu sudah sah. Karena di situ pasien nanti mendapatkan edukasi tentang bagaimana penggunaan, bagaimana cara pemakaian, kemudian harus dihabiskan atau tidak, serta edukasi-edukasi yang lain untuk pemberian obat tersebut,” katanya.
Lebih lanjut, di era sekarang memang tidak bisa dipungkiri, kadang-kadang seorang dokter mempunyai style tersendiri, saat memberikan terapi ke pasiennya. “Prinsipnya resep itu sesuai indikasi penyakit si penderita, no problem, mau itu dari merek A, B, C, D itu tidak masalah,” tegasnya.
Hakam menyebutkan, zaman sekarang ini di era BPJS dan JKN, hampir 95 persen obat adalah generik. “Artinya baik dokter maupun pasien, tidak bisa memilih. Fasilitasnya itu adalah datang dari rumah sakit, kalau puskesmas dari dinas. Nah ini semua sudah dalam e-katalog. Namanya Formularium Nasional. Misalnya Amoxilin dari PT A, B, C, D, atau Paracetamol dari PT A, B, C, D. Jadi, sekarang ini 95 persen obat yang beredar di masyarakat adalah obat generik. Paten tinggal 5 persen, terutama di rumah sakit swasta. Mungkin persentasenya juga sudah menurun, karena sebagian besar bahkan 100 persen, semua rumah sakit di Kota Semarang bekerjasama dengan BPJS,” katanya.
Bagaimana kalau mereka masih menggunakan obat paten? “Pasti tidak bakal klop dengan paketan BPJS-nya. Jadi yang dipakai adalah obat generik. Prinsipnya, yang namanya dispensing itu yang tidak boleh. Jadi dokter memeriksa, ngobati sendiri, obatnya ada di rumah tersebut, tidak apotek atau apoteker, itu tidak diperbolehkan atau melanggar. Kalau dokter berpraktek, menerima pasien, memeriksa kemudian memberikan resep. Mau resepnya itu mengarah ke pabrik A, itu tidak ada masalah. Prinsipnya, obatnya sesuai dengan indikasi penyakit pasien. Yang masalah yang dispensing tadi. Itu yang tidak diperbolehkan,” terangnya menegaskan.
Tapi hal itu terkesan ada praktik monopoli obat?
“Memang saya akui, dulu sebelum era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), luar biasa yang memakai, era 2015 ke atas masih banyak kita temukan yang ‘missing minded’ seperti itu. Tetapi sekarang sudah sedikit sekali. Yang notabene satu resep itu punyanya perusahaan A, itu sudah sangat sedikit sekali. Dulu banyak, sekarang sudah lain zamannya. Jadi sekarang ini eranya sudah perbaikan,” ujar dia.
Tanggapan IDI Tentang Tudingan Kolusi Bisnis Obat
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Semarang dr. Elang Sumambar, menjelaskan bahwa dokter menyebut merek obat tertentu dalam resep itu tidak masalah. Artinya bukan sebuah pelanggaran etik. “(Resep dokter menyebut merek) ya tidak apa-apa. Merek obat tertentu itu kan sebenarnya bagian daripada apa yang dia tuju kan. Jadi gini lho, ada obat yang basic dasarnya adalah A. Nah, A itu punya nama dagangnya B, C, D, E. Dia (dokter) mau menulis B, C, D, E di resep itu tidak apa-apa. Tidak ada masalah,” katanya.
Dia dengan tegas membantah adanya praktek kolusi dalam resep dokter. Termasuk pembagian fee 3-10 persen dari penjualan penjualan obat apotek yang berasal dari resep dokter.
“Tidak ada. Itu permainan di obatnya saja. Dokter tidak boleh seperti itu. Kalau terjadi seperti itu, berarti dia kena pelanggaran disiplin. Itu hanya versinya dia (pengusaha apotek),” ujarnya.
Elang menilai justru yang menyebabkan harga obat mahal adalah biaya promosi obat itu sendiri. “Nggak ada dokter (menerima fee dari penjualan obat apotek dari resep), saya bikin resep, katakanlah obat A, isinya B, C, D, E, saya nulis E atau D, saya nggak ada untuk cari (fee). Justru yang mahal itu biaya promosinya. Saya katakan tadi obat A, isinya B, C, D, E itu ada promosinya. Lingkarannya di situ, makanya dengan adanya BPJS sekarang ini sebenarnya pemerintah sedang memerangi mafia-mafia obat,” terang dia.
Apakah dokter diperbolehkan memiliki atau mengelola apotek? Elang menjelaskan bahwa dokter boleh memiliki apotek. Tetapi aturan-aturan apotek itu ranahnya Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). “Bukan aturan dokter itu sendiri. Pengawasannya ada di BPOM. Kalau dia (dokter) punya itu (apotek) ya tentunya ada persyaratan seperti apa. Penggunaan obatnya dari dokter untuk apotek, semua aturannya sama. Tidak ada yang dibedakan. Jadi, dokter dengan obat ini sebagai ‘user’ aja. Pemakai obat aja. Terkait apotek itu ranahnya IAI,” ujarnya.
Menurut dia, regulasi sekarang telah berupaya untuk memberantas praktik kolusi dalam bisnis obat. “Mereka yang bermain seperti itu banyak yang gulung tikar. Jadi, sudah tidak seperti itu kalau menurut saya. Secara profesional, dokter sudah ada haknya sendiri. Itu nggak bisa, nggak bener itu,” katanya. (*)
BACA JUGA INI: Sengkarut Pengelolaan Apotek, 50 Persen Tak Memenuhi Syarat
ARTIKEL TERKAIT: Tanggapan IAI Terkait Tudingan Kolusi Bisnis Obat
editor: ricky fitriyanto