in

Sudah Bertahun-tahun, Uang Ganti Untung Tak Kunjung Dinikmati Warga Kebonharjo

SEMARANG (jatengtoday.com) – Warga Kebonharjo, Semarang Utara, yang terlibat konflik penggusuran akibat pembangunan proyek jalur kereta api Tawang-Tanjung Mas, hingga kini masih mengharap uang ganti untung yang dulu sempat dijanjikan.

Berdasarkan hasil rapat koordinasi yang berlangsung di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Oktober 2017, memutuskan semua permasalahan terkait ganti layak warga Kebonharjo akan diselesaikan secepatnya. Namun, hingga saat ini belum juga menemukan kejelasan.

Sebagian rumah warga Kebonharjo sudah dieksekusi (baihaqi/jatengtoday.com).

Ketua Forum RW Kebonharjo, Suparjo sangat menyayangkan karena persoalan ini terkesan berlarut-larut. Padahal, katanya, permintaan warga tidak muluk-muluk. Pun hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi sudah jelas.

“Pada poin kedua (dalam kesepakatan itu) isinya adalah menyepakati adanya ganti untung yang layak yang disepakati oleh warga. Namun, sampai saat ini tidak ada kelanjutan dari kesepakatan itu,” jelasnya saat ditemui, Kamis (14/3/2019).

“Kami sudah lama menunggu proses, tetapi nyatanya kan tindak lanjut dari PT KAI atau pemerintah juga tidak ada kejelasan. Artinya tidak ada pelaksanaan pengganti yang layak yang disepakati oleh warga,” imbuhnya.

Menurut Suparjo, warga Kebonharjo sebenarnya tidak mempunyai sedikit pun niatan untuk menghalangi proyek nsional tersebut. Hanya saja pihaknya merasa tidak ada keseriusan dari pemerintah. Salah satunya bisa dilihat dari tawaran ganti untung yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ganti rugi.

“Uang ganti yang ditawaran itu hanya Rp 250 ribu per meter. Murah banget. Makanya kami tolak,” tegas Suparjo.

Karena itu, kemarin warga Kebonharjo mengadakan pertemuan lagi. Hasilnya warga berpijak pada apa yang ditandatangani oleh Gubernur Jateng pada 21 Maret 2014 lalu. Dalam keputusan Gubernur itu, di pasal 3 disebutkan agar mengaktivasi rel lama untuk digunakan lagi.

Ia menjelaskan, memang ada perbedaan antara landasan yang dipegang PT KAI dengan keputusan Pemprov Jateng. “Kalau PT KAI menginginkan model shortcut, atau membuat jalur KA jarak pendek dari Tawang ke Pelabuhan dengan melewati wilayah Kebonharjo,” bebernya.

“Namun, ketika melihat keputusan Gubernur, itu menghendaki reaktivasi jalur lama, yakni dari Tawang, memotong Semarang Gudang, Ronggowarsito, baru ke pelabuhan. Jadi tidak menerjang Kebonharjo,” ungkap Suparjo.

Maka dari itu, imbuhnya, kesepakatan warga menjadi pedoman bagi forum untuk menyuarakannya di tingkat pemerintah daerah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat.

Suparjo melanjutkan, sampai saat ini ada beberapa rumah warga yang sudah dieksekusi (dengan cara dibongkar paksa), dan belum mendapat ganti rugi sama sekali. “Akibatnya kan warga yang kasihan, terpaksa harus ngungsi. Ada yang ke Rusunawa Kudu, ada juga yang hanya nunut di tempat saudara,” ucapnya.

Disamping itu, ia tidak memungkiri adanya sebagian warga yang sudah mendapatkan ganti rugi. Hal itu menjadi strategi khusus yang diambil oleh pihak PT KAI, yakni membayar satu per satu secara ilegal. Namun, tegas Suparjo, warga sudah bulat satu suara.

“PT KAI tidak berhak melakukan tindakan apapun. Karena sekarang yang memiliki wewenang adalah Dirjen KAI dari Dinas Perhubungan,” tadasnya.

Oleh karena itu, kata Suparjo, setiap 2 minggu sekali warga mengadakan pertemuan. “Jadi posisi warga sekarang adalah menjaga kekompakan sekaligus membuat satu jaringan untuk mengantisipasi gerakan-gerakan yang merugikan warga secara umum,” bebernya.

Warga lain, Hartono, sangat berharap agar persoalan ini jangan semakin diperpanjang. Kalau bisa diselesaikan dengan kepala dingin, jangan seperti dulu. Karena, menurut perhitungannya, sebagai dampak dari konflik Kebonharjo, sudah ada beberapa warga yang menjadi korban hingga meninggal dunia.

“Setelah kejadian pembongkaran dulu, sudah ada 9 warga kami yang meninggal. Latar belakangnya ya karena tekanan psikis. Mereka kepikiran karena rumahnya sudah digusur, sehingga kehidupan mereka semuanya tidak tenang,” ucapnya.

Atas nama warga, Hartono memohon kebijaksanaan dari berbagai pihak. Sebab, jika ujung-ujungnya hanya akan mengandalkan jalur hukum tanpa diimbangi dengan misi kemanusiaan, maka selamanya rakyat kecil yang akan kena imbasnya. (*)


editor : ricky fitriyanto