SEMARANG (jatengtoday.com) – Serikat buruh di Jawa Tengah mengaku prihatin dengan adanya kegiatan bernuansa senang-senang untuk merayakan Hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh setiap 1 Mei. Hal tersebut dirasa telah melenceng jauh dari tujuan awalnya.
Hari ini, ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Serikat Pekerja Nasional (SPN), menggelar aksi di depan Kantor DPRD Jateng, Rabu (1/5/2019).
Koordinator Aksi, Sumartono, dalam orasinya mengatakan, saat ini May Day telah banyak mengalami pergeseran makna jika dibandingkan dengan peristiwa awalnya. Yaitu tentang pertumpahan darah Haymarket di Amerika Serikat. Pergeseran itu bisa dilihat dengan banyaknya lembaga negara yang memperingati dengan cara hura-hura.
Seperti diketahui, di Jateng sendiri, ada beberapa lembaga pemerintahan yang melakukan hal itu. Diantaranya Forkopimda Blora yang merayakannya dengan jalan sehat bareng buruh. Ada pula Pemkot Solo yang menggelar bazar murah dan senam bersama. Juga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang berhura-hura dengan para buruh di Owabong, Purbalingga.
Keprihatinan Sumartono semakin membuncah ketika perayaan bernuansa senang-senang itu diikuti oleh para buruh. “Bahkan buruh sekalipun kadang tidak memahami apa sebenarnya hal yang disuarakan May Day kala itu, yakni 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi,” keluhnya.
Hari ini, kata dia, 133 tahun setelah kerusuhan Haymarket, sekalipun tuntutan 8 jam kerja perhari secara formal sudah merupakan normatif, pada praktiknya penindasan terhadap buruh justru makin sadis.
“Ya, jam kerja buruh memang sudah lama jadi 8 jam, tapi kondisi perbudakan gaji makin menjadi, sehingga bahkan buruh mensyukuri jam kerja lebih untuk bisa memiliki ruang gerak finansial untuk sekedar lebih dari bertahan hidup,” teriaknya di atas mobil yang digunakan untuk aksi.
Menurutnya, pemerintah bahkan mengkebiri kenaikan upah buruh melalui PP nomor 78 Tahun 2015 dengan cara menghilangkan hak berunding buruh atas upah. Selain itu, berbagai pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan juga diciptakan dengan mengatasnamakan investasi dan kapital. “Tidak ada keberpihakan pada buruh, penguasa dan pengusaha sama saja,” ucapnya.
Oleh karena itu, pihaknya menyatakan dengan tegas bahwa May Day harus diperingati sesuai dengan ruh awalnya. “May Day is not hollyday, May Day isn’t fun day. Buruh wajib menyuarakan isu perjuangannya dengan lantang. Aksi adalah pasti,” tegas Sumartono.
Dalam kesempatan itu, serikat buruh juga mengajukan beberapa tuntutan. Yakni seperti menolak upah murah dengan mencabut PP No.78 Tahun 2015 serta menaikkan komponen KHL menjadi 84 item. Menuntut upah minimum sektoral di Jateng, serta masih banyak tuntugan yang lainnya.
“Pemerintah adalah penanggung jawab kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Jangan hanya teriak-teriak paling NKRI, paling Pancasila. Kami butuh kerja nyata, kami cuma minta jalankan amanat sila kelima,” tegasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto