SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait holdingisasi yang mengkonsolidasikan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI dengan PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM terus menuai penolakan, terutama dari karyawan PT Pegadaian.
Karyawan PT Pegadaian di sejumlah wilayah di indonesia menegaskan penolakan dengan kompak memasang pita hitam di lengan kiri, mulai Selasa (16/2/2021) lalu hingga sekarang.
Baca juga: Faisal Basri Sebut Rencana Akuisisi BRI dan Pegadaian Sesat Pikir
Pemasangan pita hitam ini merupakan protes mereka terhadap rencana aksi holding yang akan dilakukan pemerintah. Serikat Pekerja PT Pegadaian menyatakan bertanggung jawab atas aksi tersebut.
Ketua Serikat Pekerja PT Pegadaian Ketut Suhardiono mengatakan, aksi ini dilakukan secara spontan oleh karyawan karena pemerintah tidak merespons dengan baik tuntutan penolakan holding ultra mikro.
“Itu ekspresi perasaan karyawan Pegadaian. Mereka mengekpresikan penolakan dengan pasang pita hitam. Itu simbol duka dan solidaritas mereka,” ucapnya, Sabtu (27/2/2021).
Baca juga: Kontribusi Pajak Tinggi, Pegawai Pegadaian Ogah Jadi Anak Perusahaan BRI
Dikatakan, rencana pembentukan holding atau penggabungan perusahaan ultra mikro akan membuat bisnis PT Pegadaian terganggu.
Ketut beralasan segmen bisnis PT Pegadaian yang berbeda dengan perusahaan perbankan mana pun, menjadikan Pegadaian memiliki karakter bisnis tersendiri. Upaya untuk melakukan holding, akuisisi atau merger, ungkap Ketut, hanya akan mengganggu fokus bisnis PT Pegadaian.
“Dengan holding, tidak akan terfokus kegiatan usaha di bidang gadai. Hal ini akan membuat produk bisnis PT Pegadaian yang selama ini dikembangkan menjadi terganggu atau terkontaminasi,” ujarnya.
Baca juga: Serikat Pekerja Beberkan Alasan Penolakan Rencana Akusisi Pegadaian oleh BRI
Ditegaskan, posisi PT Pegadaian termasuk dalam Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Dengan begitu, selama ini PT Pegadaian memang hanya berfokus melayani masyarakat yang belum atau tidak memiliki akses ke perbankan.
“Jadi, biarpun masyarakat tidak memiliki tabungan atau nomor rekening pegadaian, mereka bisa menjadi nasabah. Kedua, Pegadaian bisa memberikan kredit mulai dari Rp 50 ribu dan bahkan kredit dengan skema nol persen. Tidak banyak lembaga keuangan di Indonesia yang mampu melakukan hal ini,” paparnya.
Senada, ekonom dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Antariksa menilai, produk gadai memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk perbankan.
Baca juga: Serikat Pekerja Tak Setuju Wacana Akuisisi Pegadaian oleh BRI
Status Pegadaian yang akan menjadi perusahaan anak Bank BRI sangat mungkin akan memangkas bisnis mikro Pegadaian.
“Karena produk mikro yang dekat dengan karakteristik produk perbankan berpeluang akan diakuisisi oleh perusahaan induk, hal ini akan mengurangi pilihan masyarakat untuk mendapatkan akses ke lembaga pembiayaan mikro,” tegasnya.
Di samping itu, lanjutnya, bisnis gadai sangat berperan dalam menjangkau segmen ultra mikro yang belum dapat dijangkau dan mendapatkan akses ke lembaga perbankan.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Dorong Akselerasi Digital BUMN
Dengan posisi Pegadaian menjadi perusahaan anak Bank BRI, hal yang paling tidak kondusif bagi bisnis Pegadaian adalah apabila bisnis gadai akan dijalankan dengan pendekatan banking.
“Selain perbedaan karakter bisnis dan belum adanya undang-undang yang mengatur perusahaan jasa gadai, selain akan berpotensi merubah cara Pegadaian menjalankan bisnis gadainya juga akan menyulitkan masyarakat dalam memanfaatkan produk-produk gadai Pegadaian,” jelasnya.
Dari pengamatannya, Pegadaian merupakan salah satu solusi alternatif pendanaan bagi masyarakat dengan karakteristik yang berbeda dengan produk perbankan, karena dapat melayani masyarakat yang tidak bisa dilayani bank atau non bankable dan menjadi solusi kebutuhan pendanaan cepat bagi masyarakat kecil. (*)
editor : tri wuryono