in

Pakar IT: Penggunaan Big Data untuk Penundaan Pemilu Sebaiknya Dihentikan

Ilustrasi. (Photo by Christina Morillo from Pexels)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Isu penundaan Pemilu 2024 beberapa hari terakhir masih menjadi perbincangan hangat di tanah air. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut memiliki big data bahwa masyarakat mendukung penundaan Pemilu 2024, menjadi polemik.

Dia menambahkan bahwa big data tersebut diambil dari data social media mulai dari facebook, twitter dan aplikasi lainnya. Pernyataan Luhut menjadi mata-rantai menyusul pernyataan sejumlah tokoh politisi yang sebelumnya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda. Politisi tersebut adalah Muhaimin Iskhandar (Cak Imin) Ketua Umum PKB, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

Di sisi lain, Ketua DPR RI Puan Maharani merespons soal “big data” yang disampaikan Luhut. Puan mengaku bahwa big data yang diklaim Luhut berbeda dengan big data PDIP.

Pakar IT, Dr. Solichul Huda, M.Kom.

Menyikapi hal tersebut, Pakar IT, Dr. Solichul Huda, M.Kom menjelaskan bahwa big data itu dapat difilter sesuai dengan keinginan pengguna. “Big data itu kan data yang terdapat di semua aplikasi yang terhubung di jaringan internet, jadi siapa pun bisa memilih sesuai keinginannya,” jelasnya kepada jatengtoday.com, Sabtu (19/3/2022).

Pastinya akan menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan, karena big data itu isinya dan prosesnya bisa disetting.

Huda—sapaan akrabnya, berpendapat bahwa sah-sah saja menggunakan big data untuk penguatan pendapat tentang sebuah kasus. Namun dia menilai kurang tepat jika big data dipakai sebagai alasan penundaan Pemilu 2024.

“Pastinya akan menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan, karena big data itu isinya dan prosesnya bisa disetting,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar DPP PKS itu.

Dia mencontohkan, perdebatan tentang “merokok itu dapat mengganggu kesehatan” misalnya. Apabila dianalisa menggunakan big data, maka dapat juga ditemukan fakta  berlawanan, bahwa merokok justru menyehatkan.

“Contoh kebiasaan merokok, dalam big data juga ada informasi yang menunjukkan bahwa rokok itu justru menyehatkan,” tambah Pakar IT kelahiran Kota Kretek Kudus ini.

Sekarang, lanjut dia, memang zaman big data. Dia tidak mempermasalahkan penggunaan big data untuk kegiatan apa pun termasuk untuk wacana penundaan Pemilu 2024. Namun penggunaan big data tersebut harus disepakati bersama oleh masyarakat.

“Misalnya, ada kuetionare yang harus diisi oleh masyarakat yang sah sebagai peserta pemilu tentang setuju atau tidaknya Pemilu 2024 ditunda,” terangnya.

Apabila big data telah disepakati jenis dan isinya, kemungkinan terhindar dari duplikasi data dan settingan. Menurut Huda, big data dari social media kurang bisa dipertanggungjawabkan identitas pengisinya maupun komentarnya.

“Di social media itu tidak ada non repudiationnya, sehingga pemberi komentar bisa mengelak,” jelasnya.

Tahun 2021, lanjut dia, pemilik telepon seluler di Indonesia 123 persen  dibanding total penduduk, artinya banyak masyarakat yang memiliki nomor HP lebih dari satu.  Selain itu pengguna social media juga hanya 88 persen dari pengguna internet. Artinya perlu banyak pertimbangan menjadikan social media sebagai dasar.

“Polemik penggunaan big data untuk penundaan pemilu sebaiknya dihentikan. Namun seandainya big data harus digunakan untuk alasan penundaan Pemilu 2024, sebaiknya dibuat kesepakatan bentuk dan isi big data dimaksud, supaya terhindar dari redudansi dan settingan. Dalam arti, penggunaan big data dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ungkapnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mempertanyakan kapasitas Menko Marinves Luhut B Pandjaitan yang berbicara tentang penundaan Pemilu 2024 dengan memunculkan pernyataan soal ‘big data’ tersebut.

“Menurut saya, Pak Luhut harus melakukan klarifikasi. Beliau berbicara dalam kapasitas apa? Karena kalau berbicara politik, hukum dan keamanan itu kan ranah Menko Polhukam. Kalau berbicara politik demokrasi, tatanan pemerintahan, itu Mendagri,” katanya.

Hasto mengatakan “big data” seharusnya dipakai untuk persoalan mendesak. Yakni persoalan kerakyatan, misalnya, polemik kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga kebutuhan pokok.

“Beliau (Luhut) harus mempertanggungjawabkan pernyataan itu secara akademis agar ini tidak membelah. Karena menjadi seorang pembantu presiden itu harus fokus pada tugasnya, sesuai mandat yang diberikan,” katanya.

Sedangkan pengamat politik Universitas Jember (Unej) Dr Muhammad Iqbal mengatakan wacana penundaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan presiden tiga periode merupakan bentuk pengkhianatan reformasi total dan melanggar konstitusi.

BACA JUGA: Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpeluang Membuat Situasi Chaos

“Wacana tersebut sebaiknya dihentikan. Narasi penundaan Pemilu 2024 itu sudah mulai diproduksi oleh para elite politik, dan itu bisa dinyatakan sebagai pengkhianatan terhadap reformasi,” kata Iqbal.

BACA JUGA: Pakar Hukum: Kalau Mau Tunda Pemilu, Amendemen Dulu UUD 1945!

Menurutnya, penundaan pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden tidak punya landasan hukum, bahkan agenda reformasi total dalam UUD 1945 tersebut juga mengatur pembatasan kekuasaan presiden dengan masa jabatan 10 tahun atau dua periode saja.

“Wacana itu justru melanggar prinsip konstitusi dan merupakan pengkhianatan reformasi,” tegasnya. (*)