in

Kisah Sedih Mbah Min, Mata-mata Agresi Militer Belanda, Tak Dapat Hak Veteran dan Terpaksa Jualan Mainan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Ngadimin Citro Wiyono atau yang kerap disapa Mbah Min merupakan mantan mata-mata saat agresi militer Belanda. Meski ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan, warga Solo ini belum mendapatkan hak sebagai veteran.

Di usianya yang telah 88 tahun, Mbah Min masih lancar menceritakan kisah heroiknya di Solo tempo dulu. Saat itu, usianya masih sangat muda. Sekitar 15 tahun. Kematian sang ayah di tangan Belanda dan masyarakat Solo waktu itu menjadi pelecut semangatnya untuk berjuang.

“Tahun 1948-1950 ada agresi militer Belanda kedua di Solo. Saat itu berpusat di Lapangan Terbang Panasan yang sekarang jadi Adi Soemarmo. Dulu, selama tiga tahun lokasi itu menjadi area perang, banyak warga yang jadi korban, termasuk ayah saya,” ungkapnya mengawali cerita saat ditemui di rumah dinas Gubernur Jateng, Senin (9/11/2020).

Mbah Min ingat betul saat ayahnya ditembak mati oleh Belanda karena dianggap sebagai pejuang. Saat itu, ia berada di dekat sang ayah, sehingga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekejaman itu menimpa ayahnya dan warga desa lainnya.

“Saya marah, Belanda biadab. Setelah itu saya memutuskan untuk ikut berjuang. Saya rela mati demi nusa dan bangsa,” terang kakek 9 cucu ini.

Awal perjuangan Mbah Min adalah saat membantu para prajurit TNI yang ingin menyergap gudang senjata Belanda. Ia yang melihat senjata prajurit ditinggal di kebun, sengaja menyembunyikannya dengan cara ditutup daun kering. Tujuannya agar tidak ketahuan oleh Belanda.

“Saat itu Komandan pasukan terkejut, kok bisa senjatanya diamankan. Setelah tahu saya yang melakukan, terus saya diminta gabung berjuang dan mendapat tugas baru. Saat itu, saya ditugasi menjadi pengintai Belanda,” ucapnya.

Tugas sebagai pengintai Belanda bukanlah perkara gampang. Namun, itu semua bisa dilakukan Mbah Min. Karena masih anak-anak, Belanda tidak curiga bahwa dirinya adalah pengintai.

“Saya juga dipesani Komandan untuk berpura-pura jadi anak tidak normal. Jadi saat itu, saya menjadi pengintai untuk pasukan Indonesia,” tegasnya.

Meski perjuangannya melawan Belanda begitu gigih, dia belum tercatat sebagai pejuang di Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Oleh sebab itu Mbah Min tak memperoleh haknya sebagai veteran. Untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berdagang mainan anak-anak yang dibuatnya sendiri.

“Saya memang tidak ngurus itu, karena sekarang itu harus ada hitam diatas putih. Semua harus ada tanda bukti, sementara saya tidak punya. Dulu, saya itu hanya berani saja, tidak mikir besok begini,” jelasnya. (*)

 

editor: ricky fitriyanto

 

Ajie MH.