SEMARANG (jatengtoday.com) – Dua pimpinan ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah Jawa Tengah didapuk menjadi pembicara dalam pemutaran dan bedah film yang berjudul “Jejak Langkah 2 Ulama”.
Wakil Ketua PWNU Jateng, Musahadi menilai, film berdurasi 2,5 jam tersebut patut diapresiasi karena berani menampilkan artis yang tergolong baru di dunia perfilman.
“Tapi jangan menyepelekan orang baru, nyatanya kualitasnya tidak kalah dengan yang lama,” jelasnya di aula perpustakaan MAJT, Minggu (23/2/2020) malam.
Menurutnya, selama ini masyarakat disuguhi film bergenre religius yang diperankan artis yang tidak mengenal tradisi pesantren, yang tidak mampu melafalkan Al-Qur’an atau bahkan membaca kitab kuning.
“Film tersebut malah terdapat santri yang sedang menghafalkan nadzam Alfiah dan bacaanya fasih. Ini bukti bahwa film ini diperankan orang-orang yang paham agama,” ungkap Musahadi.
Dia melanjutkan, film Jejak Langkah 2 Ulama lebih mirip film sejarah. “Mirip, karena film ini menceritakan soal perjuangan tokoh yang bersejarah,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Musahadi merasa bahwa film tersebut kurang mengangkat perselisihan pendapat antar keduanya. Melainkan hanya mengambil kesamaan guru dalam belajar ilmu agama, berjuang membimbing masyarakat sampai bisa mendirikan sebuah organisasi dan memperjuangkan kemerdekaan.
Sementara itu, Ketua PW Muhammadiyah Jateng, Tafsir mengatakan, keberadaan dan ciri khas Islam di Indonesia tak bisa lepas dari peran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari selaku pendiri organisasi dengan penganut mayoritas.
“Karena itu, suka atau tidak suka, ikon Islam Indonesia tak bisa lepas dari ketokohan dua ulama besar itu. Melihat Islam Indonesia pasti melihat NU dan Muhammadiyah,” ucap Tafsir.
Dengan menonton film Jejak Langkah 2 Ulama ini dia berharap agar masyarakat, utamanya umat Islam dapat mengambil pelajaran. Sehingga bisa meneladani bagaimana bisa mewarnai Indonesia.
Bedah film tersebut digelar oleh Pengelola Pelaksana MAJT bersama PW PRIMA DMI Jateng, serta aliansi remaja 3 masjid besar Semarang. (*)
editor: ricky fitriyanto