in

Indonesia Tidak Mengakui Taiwan, Hubungan Ekonomi dengan Taipei Tetap Berjalan Secara Non-Formal

ilustrasi

Highlights

– Kebijakan Satu China: Indonesia mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya pemerintahan sah sejak 1950, sehingga menolak kedaulatan Taiwan demi menjaga stabilitas geopolitik regional.

– Hubungan non-diplomatik: Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei melindungi 350 ribu pekerja migran Indonesia; perdagangan bilateral meningkat 15 persen pada tahun ini.

– Konflik Taiwan-China: Resolusi PBB Nomor 2758 tahun 1971 menganggap Taipei sebagai bagian dari Beijing; hanya 11 negara mengakui Taiwan pada Oktober 2025.

– Respons Taipei Economic and Trade Office: Protes pernyataan bersama Indonesia-China pada Desember 2024 mengenai Taiwan, tetapi mengapresiasi kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan.

– Prospek ke depan: Kerjasama pendidikan dan industri melalui Indonesia-Taiwan Industry Cooperation Forum meningkatkan devisa hingga US$2 miliar dari pekerja migran; Presiden Prabowo menjanjikan mempertahankan sikap non-blok yang independen.

JAKARTA-TAIPEI (jatengtoday.com) – Pada 2 November 2025, Indonesia menegaskan komitmennya terhadap Kebijakan Satu China di tengah eskalasi ketegangan di Selat Taiwan, sehingga menolak pengakuan diplomatik terhadap Taipei guna menjaga hubungan strategis dengan Beijing; sikap ini, yang diwarisi sejak 1950, memungkinkan kolaborasi ekonomi dan sosial yang intensif melalui lembaga non-pemerintah, meskipun Taipei menyatakan protes terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menganggapnya sebagai bagian integral dari China.

Asal Kebijakan Satu China

Indonesia tidak mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat karena menganut Kebijakan Satu China, yaitu prinsip yang mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya pemerintahan sah atas seluruh wilayah China, termasuk Taiwan. Kebijakan ini berakar pada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2758 tahun 1971, yang menggantikan perwakilan Republik China (Taiwan) dengan Republik Rakyat China di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat itu, Indonesia—sebagai anggota pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa—ikut mendukung resolusi tersebut, yang menganggap Taipei sebagai provinsi Republik Rakyat China, bukan entitas terpisah.

Secara historis, pengakuan ini dimulai pada tahun 1950 ketika Indonesia menormalisasi hubungan dengan Republik Rakyat China di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan memprioritaskan ideologi anti-kolonialisme dan non-blok. Hingga saat ini, lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, mengikuti prinsip ini; hanya 11 negara—sebagian besar negara kecil di Pasifik dan Amerika Latin seperti Palau, Nauru, dan Guatemala—yang mengakui Taiwan per Oktober 2025.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah, menegaskan pada 3 Agustus 2023: “Indonesia tetap menganut kebijakan One China Policy, menyusul kunjungan pejabat Amerika Serikat ke Taiwan.”

Masalah Geopolitik dan Konflik

Masalah inti terletak pada dualitas klaim kedaulatan: Taiwan (Republik China) mengklaim mewakili seluruh China sejak kekalahan dalam perang saudara pada 1949, sementara Republik Rakyat China mengklaim Taipei sebagai wilayah pemberontak yang harus reunifikasi, bahkan melalui kekerasan jika diperlukan.

Konflik ini mengalami eskalasi sejak tahun 2022, dengan latihan militer Republik Rakyat China di sekitar Selat Taiwan dan dukungan Barat bagi Taipei, yang memicu ketakutan akan perang regional yang mengganggu rantai pasok global—termasuk semikonduktor dari Taiwan, yang menyumbang 60 persen produksi dunia.

Bagi Indonesia, pengakuan terhadap Taiwan berisiko merusak hubungan dengan Republik Rakyat China, yang merupakan mitra dagang terbesar (US$125 miliar pada 2024) dan investor utama dalam proyek infrastruktur seperti kereta cepat Jakarta-Bandung. Namun, non-pengakuan ini membatasi partisipasi Taiwan di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana Taipei menolak Resolusi 2758 sebagai “senjata” Beijing untuk isolasi diplomatik. Kepala Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei di Indonesia, John C. Chen, menyatakan pada Juni 2024: “Meskipun tidak ada hubungan diplomatik formal, Taiwan dan Indonesia memiliki kerjasama erat di berbagai bidang.”

Sikap Indonesia: Diplomasi Pragmatis

Indonesia mempertahankan sikap netral non-blok, mengakui Republik Rakyat China secara de jure tetapi menjalin hubungan de facto dengan Taiwan melalui Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei sejak tahun 1971. Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia tersebut melindungi 350 ribu pekerja migran Indonesia—penyumbang devisa US$2 miliar tahunan—dan memfasilitasi perdagangan sebesar US$10 miliar pada 2024, yang meningkat 15 persen dari tahun 2023. Kerjasama lainnya mencakup forum Indonesia-Taiwan Industry Cooperation Forum untuk industri dan pendidikan, seperti Summer Camp 2025 di Da Yeh University yang melibatkan siswa Indonesia.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada Oktober 2024, menjanjikan melanjutkan diplomasi independen untuk enjaga hubungan baik dengan semua negara, termasuk Taiwan, secara non-politik.

Pada Agustus 2025, Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Arif Sulistyo, menekankan: “Hubungan Indonesia-Taiwan tidak dilandasi diplomatik, namun kerjasama ekonomi dan pendidikan berjalan sangat baik.

Taiwan merupakan mitra strategis dengan 350 ribu pekerja migran Indonesia.”

Pada Desember 2024, Taipei Economic and Trade Office menyatakan protes terhadap pernyataan bersama Indonesia-Republik Rakyat China yang menyebut Taiwan “bagian tidak terpisahkan dari China,” tetapi mengakui manfaat kolaborasi.

Negara Lain yang Tidak Mengakui Taiwan

Selain Indonesia, mayoritas negara di dunia—termasuk Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, serta seluruh anggota ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina—tidak mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat. Mereka menganut Kebijakan Satu China, meskipun banyak di antaranya menjalin hubungan ekonomi dan militer yang erat dengan Taipei melalui mekanisme non-resmi seperti kantor perwakilan dagang.

Negara-negara besar Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Inggris juga mengikuti prinsip serupa, sementara Rusia dan negara-negara BRICS lainnya secara tegas mendukung klaim Beijing.

Hanya 11 negara yang mempertahankan pengakuan diplomatik formal terhadap Taiwan, yaitu Belize, Eswatini, Guatemala, Haiti, Kepulauan Marshall, Nauru, Palau, Paraguay, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, dan Saint Vincent and the Grenadines—kebanyakan bergantung pada bantuan ekonomi dari Taipei.

Sikap ini menyeimbangkan geopolitik, untuk menghindari konflik dengan Republik Rakyat China, tetapi memanfaatkan Taiwan untuk kepentingan ekonomi—dari tenaga kerja hingga teknologi—sambil mendukung perdamaian di Selat Taiwan melalui ASEAN. Dengan ketegangan yang berlanjut, Indonesia menjadi model diplomasi pragmatis di Asia Tenggara, di mana prinsip non-blok menguji batas antara idealisme dan kepentingan nasional. [dm]