SEMARANG (jatengtoday.com) – Idiom hidup berawal dari mimpi ternyata dirasakan oleh dalang muda asal Semarang, Fu Jose Amadeus Khrisna. Dia mengaku bermimpi ditemui Dewi Kwan Im, sosok legenda yang dipercayai masyarakat Tiongkok sebagai Dewi Welas Asih.
Suatu malam pada November 2017 silam menjadi mula terlahirnya gagasan Wayang Kronik. Alam bawah sadar Jose ketika tertidur pulas di rumahnya di daerah Kebonsari Semarang, mengukir penjelajahan spiritual baru.

Dalam mimpi, ia mengaku berjalan di sebuah negeri tak dikenal. Nafasnya cepat dan dadanya berdegub kencang. Tiba-tiba ia ditemui sosok misterius yang datang dengan kecepatan cahaya.
“Wanita dengan tangan dan mata seribu,” kata Jose di sela Pameran Ragam Wayang di Gedung Monod Diephuis Jalan Kepodang 11-13, Kawasan Kota Lama, Semarang, Sabtu (10/11/2018).
Sontak hal itu membuat Jose terhenyak hingga membuat terjaga dari tidur pulas. Ia masih belum percaya jika kejadian itu hanyalah mimpi dalam tidur. Namun di benak tetap terbayang hingga kemudian menerjemahkan sosok tersebut sebagai Dewi Kwan Im.

Tak mau kehilangan ingatan, Jose kemudian segera mengambil alat lukis dan kertas untuk membuat sketsa sosok tersebut. Desain sketsa tersebut kemudian diabadikan melalui seni pahat wayang kulit yang diberi nama Dewi Kwan Im. Ini menjadi tokoh pertama yang menginspirasi terciptanya Wayang Kronik.
“Wayang Kronik adalah terobosan baru yang saya desain menjadi perpaduan budaya Cina (Tiongkok) dan Jawa. Saya membuatkan tokoh-tokoh lain dari legenda Tiongkok, seperti di Film Kera Sakti, Sun Go Kong,” katanya.
Sosok siluman kera yang sakti mandraguna itu memporakporandakan negeri kahyangan. Kesaktiannya memunculkan kesombongan berlebih. Ia merasa menjadi sosok terkuat di muka bumi dan langit. Namun tanpa disadari, kehadiran tokoh lain membuatnya tak berdaya hingga dihukum menggunakan tindihan batu di kaki gunung selama 500 tahun.
“Saya menulis naskah ulang yang merupakan adaptasi dari cerita Novel Tiongkok. Meski adaptasi, ceritanya pakem sehingga saya harus berhati-hati agar tidak meleset dari cerita aslinya,” katanya.
Ia menuangkan cerita tersebut menggunakan Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Jawa. Mengapa memilih menggunakan Bahasa Indonesia? Karena, agar Wayang Kronik lebih bisa dipahami generasi muda secara luas.
“Kalau menggunakan Bahasa Jawa yang bisa memahami orang Jawa. Namun Wayang Kronik ini tetap memasukkan unsur Jawa yang menggambarkan sebuah perpaduan budaya dan kerukunan. Tujuannya untuk lebih mengenalkan wayang bagi generasi muda,” katannya.
Diantaranya perpaduan antara unsur Jawa dan Tiongkok yang disematkan pada ornamen badan tokoh wayang. Selain itu, musik pengiringnya menggunakan gamelan Jawa. “Ceritanya Tiongkok, musiknya menggunakan gamelan Jawa. Wayang Kronik ini pertama dan satu-satunya di dunia. Wayang hanya ada di Indonesia,” katanya.
Sampai saat ini, Jose masih terus mengeksplorasi sejumlah tokoh yang akan dimasukkan ke dalam jajaran Wayang Kronik. “Baru pertama kali pentas saat pembukaan Pasar Imlek Semawis, dihadiri Wali Kota Semarang,” katanya.
Selain itu, Jose merupakan salah satu dalang yang menguasai hampir semua cerita wayang pakem Jawa. Pasalnya Jose sebelumnya dikenal sebagai dalang cilik di Kota Semarang yang saat ini telah beranjak dewasa. Saat ini, warga keturunan Tionghoa ini masih menempuh kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. (*)
editor : ricky fitriyant