in

Cerita Suku Pedalaman di Lereng Cartenz, Berselimut Salju Tanpa Pakaian

(jatengtoday.com) – Ketika penduduk lain ketat bersaing di tengah kemajuan teknologi, sebagian kelompok masyarakat di bagian timur Indonesia itu hidup dalam kesunyian. Mereka lebih menyatu dengan alam, belum mengenal kain, transportasi, dan teknologi.

Sedikitnya ada empat suku, yakni Migani, Duga, Dani, dan Wolani. Kesehariannya, mereka tinggal di lereng gunung yang dikenal memiliki salju abadi, yakni Lereng Gunung Cartenz, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.

Mereka hidup dengan adat istiadat tradisional yang unik. Bangunan rumah terbuat dari pohon. Pakaian, makanan, dan semua kebutuhan sehari-hari berkaitan dengan tumbuhan dan binatang. Senjata tradisionalnya terbuat dari tulang kaki burung Kasuari.

Busur dan panahnya terbuat dari kayu bambu, tali busur dari rotan dan anak panah terbuat dari bambu, kayu dan tulang kangguru. Tulang belulang manusia mudah ditemui, sebab suku pedalaman tersebut memiliki tradisi prosesi pemakaman berdiri.

“Di lereng Pegunungan Cartenz dihuni empat suku, yakni Migani, Duga, Dani, dan Wolani. Keindahan Pegunungan Cartenz dikenal memiliki salju abadi serta kekayaan budaya suku pedalaman,” kata juru bicara Paulina Belau, Kasubag Program dan Pelaporan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Intan Jaya Papua, saat berkunjung di Kota Semarang, beberapa waktu lalu.

Selain itu, suku pedalaman tersebut juga memiliki tarian khas Weane. Kabupaten Intan Jaya merupakan kabupaten yang berdiri sejak 2009 silam. Sehingga belum memiliki infrastruktur memadai.

“Akses transportasi masih sulit. Hanya ada jalur udara, yakni dari Bandara Jayapura, Nabire, dan Intan Jaya. Jalur darat belum ada. Akses transportasi dari kota kabupaten ke lereng gunung membutuhkan jarak tempuh satu minggu pulang-pergi,” katanya.

Penduduk setempat sehari-hari menggunakan bahasa daerah Migani. Namun saat ini, pihaknya telah memberikan pengetahuan dan belajar berbahasa Indonesia. Namun keberadaan suku pedalaman tersebut justru menjadi daya tarik wisatawan mancanegara untuk menyambangi kabupaten tersebut.

“Kami menyediakan tenaga guide dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,” katanya.

Ia mengakui, berbagai wisata domestik di lereng Pegunungan Cartenz masih tersembunyi dan tertidur pulas. Sebab, sejumlah lokasi wisata di daerah tersebut belum tersentuh. “Akses jalan, jembatan, kantor belum dibangun. Mau tidak mau, kami harus memberdayakan masyarakat setempat. Mereka dulunya tidak memakai pakaian, saat ini sudah kami perkenalkan pakaian,” katanya.

Ia melihat, produk kekayaan tradisi budaya yang dimiliki masyarakat lereng pegunungan Cartenz jika tidak dirawat, lambat laun bisa punah. Itulah sebab mengapa hal ini penting untuk diangkat sebagai wisata Internasional.

“Masyakat setempat juga memiliki kreativitas berbagai kerajinan tangan terbuat dari bahan alam dan tumbuhan yang diambil dari hutan. Jenis rumput anggrek, biji rumput, biji pohon pala untuk perhiasan,” katanya.

Wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang ke Kabupaten Intan Jaya, termasuk di Pegunungan Cartenz mencapai 2 ribu wisatawan per tahun. Kebanyakan merupakan para turis dari Eropa dan Australia. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis