SEMARANG (jatengtoday.com) – Kebijakan larangan mudik oleh pemerintah pada Hari Raya Idul Fitri ini menyedot perhatian masyarakat. Sebagian masyarakat memaklumi pemberlakuan kebijakan tersebut. Namun diprediksi tak sedikit pula warga yang tetap mudik secara “kucing-kucingan” dengan petugas.
Mengapa demikian? Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perantauan di kota besar seperti Jakarta harus menghentikan aktivitas kerja. Sedangkan persediaan logistik terus menipis.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyebut sedikitnya ada 148.685 perantau warga Jateng dari Jabodetabak diperkirakan menggunakan kendaraan pribadi, sepeda motor atau kendaran sewa berpelat hitam.
“Kemungkinan besar melewati jalur tidak resmi istilahnya ‘jalur tikus’ yang tidak terjaga aparat hukum,” ungkapnya, Kamis (14/5/2020).
Pemudik yang datang ke Jawa Tengah menggunakan moda transportasi umum baik bus, kereta api, pesawat udara dan kapal cenderung menurun drastis sejak penetapan larangan mudik, serta penghentian operasional moda pesawat, kereta dan kapal laut.
“Wajar saja, para perantau yang berasal dari Jawa Tengah itu memilih pulang kampung. Pasalnya, persediaan logistik dan finansial untuk memperpanjang hidup sudah mulai menipis. Sudah tidak mampu membayar sewa kontrakan tempat tinggal,” katanya.
Sementara sumber mata pencaharian di Jabodetabek sedang sepi. Rata-rata perantau ini adalah pekerja informal pendapatan harian, seperti pedagang kaki lima, porter stasiun kereta, pengusaha warung makan, pengemudi taksi, pengemudi bajaj, driver ojek, penjual nasi goreng, penjual bubur ayam, penjaja starling (star buck keliling), hingga pekerja bangunan.
“Mudik tak hanya soal aktivitas mobilitas seseorang, tetapi juga terkait nilai-nilai silaturahmi serta hormat kepada orangtua. Namun tidak mudah memberikan pemahaman itu ke publik. Kendati pemerintah sudah berupaya keras secara aturan dan pelarang fisik di lapangan,” katanya.
Akhirnya demi memenuhi keinginan masyarakat untuk kepentingan tertentu, Pemerintah menerbitkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Nomor SE.9/AJ.201/DRJD/2020 tentang Pengaturan Penyelenggaraan Transportasi Darat selama masa dilarang mudik dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Namun dalam kerangka tetap melarang mudik dan harus mentaati protokoler kesehatan.
Dampak dari larangan mudik tersebut mengakibatkan hampir seluruh perusahaan transportasi umum merugi. Organda di seluruh Indonesia tercatat 90.127 perusahaan angkutan umum (orang dan barang) memiliki 426.660 armada. Angkutan penumpang angkutan antar kota antar provinsi (AKAP) sebanyak 346 perusahaan dengan 26.110 armada, antar jemput antar provinsi (AJAP) atau travel 6 perusahaan (5.579 armada).
Selain itu, angkutan pariwisata 1.112 perusahaan (18.200 armada), angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP) 20.000 perusahaan (51.815 armada), taksi 113 perusahaan (53.268), 40 ribu perusahaan angkutan kota (angkot) dengan 58.470 armada, dan 8.500 perusahaan angkutan lingkungan (angling) dengan 13.241 armada. Sementara untuk angkutan barang terdapat 20 ribu perusahaan dengan 199.977 armada.
“Kalkulasi kasar, jika seluruh angkutan antar kota antar provinsi (AKAP) tidak beroperasi selama musim mudik lebaran, akan hilang pemasukan sekitar Rp 10,5 triliun. Sekarang ini, aliran uang pemudik mengalir ke pengusaha angkutan pelat hitam,” bebernya.
Menurut dia, angkutan pelat hitam akan merajalela beroperasi memenuhi mobilitas orang antar kota antar provinsi yang cukup tinggi.
Sebagai gambaran dari data dari Dinas Perhubungan Jateng, total yang datang ke Jateng sejak 26 Maret 2020 sebanyak 824.833 orang (hingga 9 Mei 2020). Hingga 24 April 2020 (awal dilarang mudik) jumlah perantau yang datang di Jateng sebanyak 676.178 orang.
Sebelumnya, Pemkot Semarang dengan tegas memberlakukan larangan mudik. Setiap warga yang masuk di Kota Semarang menggunakan transportasi umum diwajibkan menunjukkan surat lolos rapid test Covid-19.
“Sebelum ada aturan Menteri Perhubungan, begitu ada kendaraan pelat B misalnya, langsung kita instruksikan putar balik. Sekarang perlu upaya lagi di pos perbatasan untuk menyeleksi masyarakat yang mencoba masuk ke Kota Semarang. Tentu, ini memakan waktu dan bisa saja menimbulkan antrean,” kata Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. (*)
editor: ricky fitriyanto