in

Alasan Mengapa Harus Menolak Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Perpanjangan masa jabatan kepala desa sarat kepentingan politik dan berpotensi meningkatkan penyelewengan dana desa.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar telah mempersiapkan kajian akademik penambahan masa jabatan Kepala Desa menjadi sembilan tahun dalam satu periode. (foto: dokumentasi kemendesa)

SEMARANG (jatengtoday.com) — Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun menuai kontroversi. Rencana ambisius tersebut dinilai sarat kepentingan politik.

Isu perpanjangan jabatan kali pertama dilontarkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar saat bertemu kepala desa se-Jawa Tengah dan Yogyakarta di Sleman pada pertengahan November 2022 lalu.

Tak berselang lama, tepatnya 17 Januari 2023, ribuan kepala desa dari berbagai wilayah kompak menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan lewat revisi Undang-Undang Desa.

Masa jabatan perlu diperpanjang karena alasan konflik yang muncul akibat pemilihan kepala desa (pilkades) bisa berkepanjangan. Dua tahun awal hanya dihabiskan untuk mengurus perseteruan warga, sehingga pembangunan desa terhambat.

Seorang kepala desa dari Pati Supar membenarkan alasan tersebut. Dia mencontohkan dirinya yang terpilih dalam pilkades 2019 tetapi sampai sekarang masih ada warga yang belum legowo.

“Kalau dasarnya tidak suka, orang itu akan nyari-nyari kesalahan. Disuruh gotong royong nggak mau. Desa punya program pembangunan yang bagus tidak didukung, jadi repot,” ujar Supar, Kamis (26/1/2023).

Konflik Pilkades Tak Bisa Jadi Alasan

Mereka yang mendukung wacana ini mengklaim masa jabatan sembilan tahun dapat menurunkan tensi konflik yang muncul imbas pilkades. Sementara jabatan enam tahun dianggap terlalu pendek.

Alasan tersebut patut dipertanyakan mengingat antara masalah dengan solusi yang ditawarkan, tidak nyambung. Penyelesaian konflik akibat pilkades tidak bisa diselesaikan dengan memperpanjang masa jabatan kepala desa.

Di samping itu, kondisi masing-masing desa berbeda sehingga tak bisa dipukul rata dengan mengklaim semua mengalami konflik berkepanjangan.

Contohnya Desa Kambangan, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo. Kepala desa setempat, Wahyusodik bercerita, wilayahnya terbilang adem ayem sekalipun baru menggelar pilkades.

“Kalau di desa saya konflik setelah pemilihan tentu ada, tapi nggak lama, paling sebulan selesai, sudah seperti biasa,” ujarnya.

Kepala desa lain di Purworejo Sugiman bahkan mengungkapkan, hanya dalam hitungan pekan sudah reda semua permasalahan yang terjadi akibat pilkades.

“Warga sadar dan semakin dewasa berpolitik. Namanya juga pesta demokrasi ya harus dilakukan dengan gembira, tidak perlu bermusuhan lama-lama,” tuturnya.

Masa Jabatan Kades Tidak Perlu Ditambah

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang Dr Mastur berpendapat, masa jabatan kepala desa yang berlaku saat ini sudah terlalu lama.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa selama enam tahun dan paling banyak tiga kali menjabat secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.

“Enam tahun kali tiga periode sudah 18 tahun, apakah itu tidak cukup? Menurut saya itu sudah lama,” kritik Mastur saat dihubungi.

Pembatasan masa jabatan, kata dia, menjadi momen evaluasi warga. Jika enam tahun pertama kepemimpinan kepala desa dinilai baik maka bisa dipilih lagi intuk periode selanjutnya sampai periode ketiga.

Presiden yang merupakan lembaga tertinggi, masa jabatannya hanya lima tahun dan maksimal dua periode. Sementara kepala desa sebagai satuan pemerintahan terendah justru meminta sembilan tahun.

“Bayangkan jika dikabulkan masa jabatan sembilan tahun dan boleh tiga periode maka seseorang bisa menjabat sebagai kepala desa selama 27 tahun,” tutur Mastur.

Berpotensi Tingkatkan Penyelewengan

Mastur yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Unwahas berpendapat, masa jabatan kepala desa yang terlalu lama dapat menimbulkan kecenderungan untuk melakukan penyelewengan.

Katanya, pembatasan masa jabatan perlu dilakukan agar tidak ada kekuasaan yang tak terbatas. “Sekarang jabatan enam tahun saja banyak penyelewengan, apalagi kalau diperpanjang,” imbuhnya.

Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2012–2021 ada lebih dari 600 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa, sedikitnya 686 orang merupakan kepala desa.

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat, jumlah korupsi di sektor anggaran dana desa terus meningkat sejak tahun 2015 ketika program dana desa dimulai.

Peneliti desa dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Provinsi Jawa Tengah, Maulin Niam mengatakan, anggaran dana desa yang mencapai miliaran rentan diselewengkan.

Penyelewengan yang berhasil diungkap dapat membuat jera pelaku. Namun, bagaimana dengan penyelewengan yang dirancang rapi agar tidak terendus korupsi.

Fitra Jawa Tengah pernah meneliti, 60–70 persen dana desa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Namun, pengadaan barang atau jasa di desa umumnya belum dilakukan sebagaimana mestinya.

Seharusnya, pengadaan barang/jasa di desa mengutamakan peran serta masyarakat melalui swakelola, tetapi yang terjadi langsung diborongkan dengan alasan pelaksanaan proyek membutuhkan keahlian khusus.

“Sistem borong ini rentan terjadi kolusi antara kepala desa dengan pemborong,” ungkap Niam.

Seringkali, pihak desa sengaja memploting paket pekerjaan dengan nilai pagu di bawah Rp200 juta. Tujuannya agar bisa digarap dengan mekanisme penunjukan langsung, bukan lelang. “Kasus semacam ini sangat susah (dikasuskan),” jelasnya.

Sarat Kepentingan Politik

Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai sarat kepentingan politik. Niam yang merupakan analis data di Fitra Jawa Tengah menyebut, sebagian kepala desa menjadi operator politik dari partai yang dominan di wilayahnya.

Sehingga, katanya, jangan heran kalau ada istilah “desa merah” untuk menggambarkan suatu desa dikuasai partai berwarna merah, “desa hijau” untuk yang dikuasai partai berwarna hijau, atau label warna lain.

“Makanya kemudian anggota dewan di DPR RI hampir tidak ada yang menyanggah usulan perpanjangan jabatan kepala desa. Itu karena mereka punya kepentingan politis, jangan sampai terlihat tidak mendukung,” tutur Niam.

Dugaan itu diperkuat dengan pernyataan seorang pengunjuk rasa yang mengancam bakal menghabisi partai politik yang tidak mendukung usulan perpanjangan jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun.

“Ancaman itu konkret! Kepala desa tahu betul berapa jumlah pemilih di desanya, dukuh mana yang jadi basis partai tertentu, termasuk bagaimana menggiring opini di desanya,” kata Niam.

Niam juga menduga, politisasi mencuatnya wacana ini erat kaitannya dengan suksesi pemilihan presiden 2024 mendatang. (*)

editor : tri wuryono

Baihaqi Annizar