in

Angkutan Massal Perkotaan, Pemerintah Harus Menanggung Risiko Penyediaan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan angkutan massal perkotaan merupakan public goods, sehingga pemerintah harus menjadi penanggung risiko dalam penyediaannya.

“Program Buy The Service (Pembelian Layanan) harus dilakukan dengan membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisne lelang berbasis standar pelayanan minimal atau quality licensing.  Pemerintah harus menanggung risiko, memberikan lisensi dan prioritas,” terangnya, Senin (7/9/2020).

Pemerintah menjadi penanggung resiko penyediaan layanan angkutan karena  tingginya biaya operasional angkutan massal. “Pemerintah harus memberikan lisensi  pelaksanaan pelayanan kepada operator yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pemerintah harus memberikan prioritas kepada angkutan umum supaya memiliki keunggulan dibandingkan kendaraan pribadi,” bebernya.

Dalam konsep strategi program buy the service adalah push strategy yang dilakukan Pemda untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum. Pull strategy dilakukan pemerintah pusat untuk menarik masyarakat menggunakan transportasi umum.

“Cara pemda untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum adalah dengan manajemen ruang dan waktu akses kendaraan pribadi atau mengatur ruang jalan dan mengatur ruang parkir. Misalnya, menertibkan parkir di tepi jalan,” terang dia.

Dalam strategi program buy the service, lanjut Djoko, pemerintah memberikan subsidi 100 persen Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang diperlukan untuk melaksanakan SPM yang ditetapkan. “Pemerintah menetapkan Standar Pelayanan Minimal agar layanan angkutan memiliki kualitas dan pelayanan yang prima. Adapun SPM yang sudah diatur dalam PM Perhubungan Nomor Tahun 2020, meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan,” terangnya.

Aspek Keamanan, contohnya ketersediaan CCTV, ID card driver dan tombol hazard. Keselamatan, contohnya ada SOP pengoperasian kendaraan, SOP keadaan darurat, dan lain-lain. Adapun kenyamanan, contohnya suhu dalam bus, kebersihan, lampu penerangan.

Sejumlah kelengkapan teknologi peralatan internet of things (IoT) dalam bus yang harus tersedia berupa passenger counting, yakni sensor alat untuk menghitung jumlah penumpang masuk/keluar secara automatis dengan sistem digital, mobile DVR atau perangkat elektronik untuk monitoring yang dapat mengirimkan dengan kecepatan sinyal 2G-3G-4G, GPS Tracking untuk mendeteksi posisi, arah dan kecepatan kendaraan, kamera surveillance perangkat untuk merekam atau video dengan dua system, yakni IR dan AI, CP4 yakni perangkat untuk monitoring kendaraan pada dashboard panel driver dan absensi driver dengan menggunakan RFID card.

“Selain itu, setidaknya ada tiga jalur yang dapat membantu penggunaan bus, yaitu aplikasi mobile, website, dan media sosial dan call centre,” imbuhnya.

Persoalannya, kebanyakan pemerintah daerah belum sepenuhnya memperhatikan detail kebutuhan transportasi umum massal secara ideal. (*)

 

editor: ricky fitriyanto