in

Simposium Penta KLabs 5 Tekankan Peran Komunitas dalam Membangun Kota dan Menyintas Krisis

SEMARANG (jatengtoday.com) – Simposium Penta KLabs 5 yang berlangsung pada 23–24 Agustus 2025 menegaskan pentingnya peran komunitas dalam membentuk kota, merawat kebudayaan, sekaligus menghadapi krisis ekologi. Gelaran dua tahunan yang digagas oleh Hysteria bersama Unika Soegijapranata ini mempertemukan komunitas, akademisi, dan praktisi budaya dari berbagai daerah di Indonesia.

Acara dibuka oleh Ahmad Khairudin, atau yang akrab disapa Adin, Co-Founder Hysteria. Ia menekankan bahwa kota tidak cukup dibangun dengan dana semata, melainkan juga oleh peran komunitas. “Intervensi dana tidak cukup untuk membangun kota. Komunitas adalah faktor penting yang mendorong perkembangan dan kreativitas,” ujar Adin.

Dalam Sesi Kebijakan Berbasis Kultural, panelis membahas isu kebebasan beragama, narasi dekolonial, hingga branding kampung batik. Muhammad Nur Ichsan Aziz menyoroti bagaimana agama sering dijadikan alat politik oleh negara. “Agama yang dijadikan alat politik adalah warisan kolonial yang kita teruskan tanpa kajian serius,” tegasnya.

Isu hak ruang hidup juga mengemuka. Rudiantenko Tungga Dewi menyebut perkembangan teknologi, terutama AI, sebagai “pisau bermata dua” yang dapat mengikis kreativitas jika tidak digunakan secara bijak. Sementara Muhammad Fathan Akron mengaitkan tradisi larung sesaji di Rawa Pening sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan agraria.

Pada Sesi Pengetahuan Lokal, pembicara menyoroti pentingnya pengetahuan tradisi. Aziwansaka memaparkan praktik kelka di Bangka sebagai bentuk kepemilikan tanah kolektif, sementara Nurul Muhthmaibah menekankan peran tradisi lisan sebagai memori bencana. Vanessa Gertrude mengingatkan generasi muda agar memanfaatkan teknologi untuk memperkuat, bukan meninggalkan, budaya Dayak Angan.

Hari pertama ditutup dengan keynote dari Marco Kusumawijaya, praktisi perkotaan; Adin, pegiat komunitas; serta akademisi Hotmauli Sidabalok. Marco menggambarkan komunitas sebagai “pengkeraman”—ruang ide sebelum disuarakan kepada negara atau pasar. Adin menambahkan peringatan tegas, “Kita sedang berada di tengah kiamat ekologi. Kota tidak bisa dibangun hanya oleh satu pihak. Semua saling terikat, dan kebaikan harus ditopang kekuatan kolektif.”

Hari kedua diawali sambutan anggota DPR RI, Samuel Wattimena, yang menyebut komunitas sebagai mitra strategis pembangunan berkelanjutan. Berbagai sesi kemudian menampilkan praktik komunitas, mulai dari Serbuk Kayu, Tarkam Art Project, komunitas fotografi PAF Bandung, hingga seniman wayang beber dari Pacitan.

Sesi komunitas marjinal juga mengangkat suara-suara dari pinggiran. Fitrilya Anjarsari menyinggung konflik agraria, sementara Nurul Azmi membahas beban ganda perempuan Melayu Batubara. Dari Malang, Diah Imaningrum Susanti berbagi kisah pengrajin batik difabel di Bhakti Luhur, bahkan ada yang membatik dengan mulut.

Simposium ditutup dengan pembahasan krisis iklim. Nikolas Suprianto menyoroti konflik agraria di hutan kemenyan Tano Batak, sedangkan Azi Wansaka menekankan perjuangan suku Mapur Bangka melawan tambang timah sebagai bentuk menjaga budaya sekaligus lingkungan.

Penta KLabs 5 kali ini menghadirkan sekitar 38 panelis dari berbagai kota, termasuk Bali, Bandung, Binjai, Surabaya, Jogja, Jakarta, Makassar, dan Semarang. Mengangkat tema kepenyintasan kultural, kegiatan ini menjadi forum refleksi sekaligus advokasi peran komunitas, sebelum kembali digelar dua tahun mendatang. (*)