SEMARANG (jatengtoday.com) – Tak lama lagi lebaran, masyarakat diimbau tidak mudik untuk menghindari meluasnya Covid-19. Di samping itu, diperlukan bantuan untuk menyambung keberlangsungan hidup bagi masyarakat terdampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini.
Ada sejumlah kemungkinan langkah yang bakal diambil oleh pemerintah terkait skenario Mudik Lebaran 2020. Saat ini, sedikitnya pemerintah telah membuat tiga skenario untuk menangani Mudik Lebaran 2020.
“Merebaknya wabah virus Corona di Jakarta dan sekitarnya telah menyebabkan gelombang eksodus pulang kampung sebelum mudik lebaran sudah berlangsung lebih cepat,” kata Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (Instran) Felix Iryantomo, Senin (30/3/2020).
Dijelaskannya, tiga skenario tersebut, pertama, bussines as usual artinya mudik lebaran seperti dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Kedua, meniadakan mudik gratis baik oleh pemerintah, BUMN, swasta maupun perorangan. Ketiga, pelarangan mudik.
Dikatakannya, aktivitas arus mudik akibat menurunnya aktivitas ekonomi di Jakarta dan sekitarnya menjadi fenomena yang tidak bisa dihindarkan. Terutama bagi pekerja sektor informal, seperti pengemudi ojek online (ojol), pedagang kaki lima (PKL), petugas cleaning service, office boy, petugas keamanan (satpam), dan buruh bangunan.
“Secara alamiah akan terjadi karena pekerja di sektor informal tidak lagi memiliki pekerjaan. Di sisi lain, harus tetap mengeluarkan biaya hidup sehari-hari yang cukup besar,” katanya.
Selain itu, menjadi hal yang wajar operator transportasi umum tetap melayani masyarakat ketika memang tidak ada larangan dari pemerintah untuk menghentikan operasionalnya. “Jika pemerintah akan menutup operasional bus umum antar kota antar provinsi (AKAP), sudah barang tentu harus memikirkan keberlangsungan hidup awak bus dan pekerja lainnya di bisnis itu. Pemerintah wajib memberikan kompensasi atau jaminan hidup bagi pengusaha transportasi umum yang akan dihentikan usahanya untuk sementara waktu,” katanya.
Keputusan perantau yang bermukim di Jabodetabek untuk pulang ke kampung halaman dilatarbelakangi oleh tidak adanya jaminan hidup di perantauan. Hal tersebut logis, karena tuntuan biaya hidup cukup tinggi di ibukota.
“Satu pasien positif corona yang saat ini dirawat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri diketahui merupakan sopir bus jurusan Wonogiri-Bogor. Rombongan pulang kampung ke beberapa Kabupaten di Jabar, Jateng, dan Jatim tengah berlangsung,” katanya.
Keputusan pemerintah lambat, masyarakat asli Wonogiri di Jabodetabek memutuskan mudik lebih awal sebelum ada larangan. Hal yang sama juga dilakukan masyarakat luar Jabodetabek lainnya yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan harian.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, mengusulkan jika nantinya memang diputuskan ditiadakan program mudik gratis, maka anggaran dapat dialihkan kepada pemudik dalam bentuk voucher bantuan sembako lebaran.
“Masyarakat yang mengikuti program mudik gratis tahun lalu lebih diprioritaskan. Data pemudik gratis itu masih ada dan bisa digunakan untuk pemberian bantuan itu. Pemerintah dapat bekerjasama dengan pengusaha mini market, sehingga voucher tersebut mudah ditukarkan ke mini market terdekat,” katanya.
Di saat Lebaran, masyarakat masih bisa melakukan video call dengan keluarga dan kerabat di kampung halaman. “Pemerintah dapat memberikan keringanan biaya penggunaan telpon seluler. Yang harus diwaspadai adalah akan membleudaknya penggunakan sepeda motor untuk mudik lebaran,” cetusnya. (*)
editor: ricky fitriyanto