in ,

Surga Terpencil di Australia Ini Penduduknya Berbahasa Jawa

Tak banyak yang mengetahui tentang Kepulauan Cocos Keeling. ‘Surga tersembunyi’ yang berada di sebuah pulau kecil di tengah Samudra Hindia, selatan Pulau Jawa, kurang lebih 3.000 kilometer sebelah barat laut Perth, Australia, atau kurang lebih 1.000 km dari Jakarta, Indonesia.

Cocos Islands memiliki 27 pulau koral dan 2 pulau atol, keberadaan secara geografis yang terpencil di tengah lautan luas membuat pulau tersebut terisolasi hingga abad ke -19. Keberadaannya jauh dari jangkauan manusia.

Tidak mengherankan, pulau ini memiliki berbagai keindahan flora dan fauna yang menakjubkan. Memiliki luas total hanya 14 km persegi, dengan jumlah perkiraan penduduk 596 jiwa (2014).

Tapi jangan kaget, meski telah menjadi bagian Australia, penduduk Cocos Islands ini ternyata mayoritas Islam dan berbahasa Melayu Indonesia campuran Jawa-Bugis dan Betawi. Para penduduk di sana menjaga adat tradisi budaya melayu seperti acara hajatan, pesta perkawinan, puisi pantun, marawis, musik melayu, hingga semarak petasan.

Populasi penduduk terbagi dalam dua pulau antara bangsa Eropa yakni di West Island yang kurang lebih berjumlah 100 jiwa dan bangsa Melayu di Home Island berjumlah kurang lebih 500 jiwa. Bahasa utama Kepulauan Cocos Keeling adalah bahasa Melayu dan Inggris. Namun karakteristik masyarakatnya lebih unik dan dominan dengan Indonesia.

Mata uang yang digunakan adalah Dolar Australia. Meski memiliki ‘surga tersembunyi’ pulau ini tak sepopuler Bali. Penduduk disana juga menjaga silsilah keturunan dan menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur. Bahkan sebagian besar menghafal nama-nama tujuh turunan para pendahulu. Sebab banyak kerabat keturunan mereka tinggal di Indonesia.

Pulau ini telah memiliki Bandara penerbangan. Biasanya, pesawat mendarat setiap hari Jumat. Cocos Island juga telah terjangkau jaringan internet dan telepon genggam. Namun masyarakatnya tetap menjaga budaya tradisional dan tidak terpengaruh tren jual beli online. Sedangkan sumber energi menggunakan mesin diesel dan panel solar. Tetapi biaya hidup di sana terbilang mahal. Secangkir kopi bisa senilai Rp 65 ribu. Tidak ada bioskop maupun pusat perbelanjaan. Adanya pusat-pusat hiburan, penginapan, kafe, dan kelab malam.

Jumlah pelajar kurang lebih 90 orang, memiliki beberapa sekolah di dua pulau. Tingkat pendidikan anak-anak hingga kelas 10.

Cocos Keeling Islands memang memiliki riwayat panjang sebelum akhirnya dikuasai Australia pada 1955 silam. Sebelumnya, pulau ini tercatat pernah dikuasai oleh Imperium Britania Raya pada 1857 silam.

Bahkan, pada 9 November 1914, kepulauan Cocos Keeling menjadi saksi sejarah Pertempuran Cocos, salah satu pertempuran laut pertama dalam Perang Dunia I.

Menurut riwayatnya, konon pertama kali yang menemukan pulau unik tersebut adalah Kapten William Keeling. Ketika itu, dia melayani Perusahaan Hindia Timur Britania. Kepulauan itu belum dihuni manusia. Hingga abad ke -19, Keeling tidak berusaha untuk menempatinya hingga abad ke-19.

Kapten Keeling dihormati para pelayar lain sebagai penemu pertama sehingga kepulauan tersebut dinamai menggunakan nama keluarganya “Keeling”. Namun pulau tersebut tak terlepas dari konflik perebutan wilayah kekuasaan yang panjang.

Sedang kisah penghuni warga keturunan Bangsa Melayu bermula dari kedatangan Alexander Hare, seorang warga Inggris, mempekerjakan Clunies-Ross untuk membawa 40 wanita Melayu ke kepulauan Cocos (Keeling). Ia berencana membuat sebuah kediaman pribadi. Alexander Hare sebelumnya bekerja sebagai gubernur Maluka, salah satu jajahan di Pulau Kalimantan.

Berkembanglah keturunan bangsa Melayu di pulau tersebut. Namun dalam perkembangannya, penduduk pulau ini terpinggirkan. Tidak hanya bangsa Melayu, pulau ini juga kedatangan bangsa Tionghoa yang didatangkan dari Malaysia dan Singapura sebagai pekerja tambang fosfat. (dirangkum dari berbagai sumber)

(abdul mughis)

editor : ismu puruhito