SEMARANG (jatengtoday.com) – Profesi pengemudi truk pengirim barang dipandang sebelah mata. Ketika terlibat kecelakaan, sopir truk terkesan hanya jadi tumbal.
Sebab, pengusutan polisi hanya berhenti dengan menetapkan sopir truk sebagai tersangka. Sedangkan pengusaha angkutan barang dan pengusaha pemilik barang yang seharusnya turut bertanggungjawab justru tidak tersentuh hukum.
Jika sopir truk meninggal dalam kecelakaan pun tidak ada jaminan asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. Ini menjadi ironi yang menyedihkan, sebab anak istri sopir truk kehilangan pencari nafkah keluarga.
“Masih seringnya terjadi kecelakaan truk, salah satunya disebabkan karena polisi tidak berhasrat mengusut hingga tuntas. Pengusutan hanya berhenti di pengemudi truk sebagai tersangka. Sementara pengusaha angkutan dan pemilik barang tidak pernah dipidana,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Djoko Setijowarno, Sabtu (3/9/2022).
Dampaknya, kecelakaan serupa tidak akan pernah berhenti. Kejadian terakhir, kecelakaan truk tronton menabrak halte dan menara telekomunikasi di depan SDN Kota Baru II dan III, Jalan Sultan Agung Km 28,5 Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (1/9/2022).
Sebanyak 10 orang tewas dalam kecelakaan tersebut. Sungguh miris, korban terbanyak adalah pelajar SD. Belum lagi ada yang luka berat dan luka ringan, sehingga total mencapai 33 orang.
Kesalahan itu diperparah dengan muatan truk yang melebihi kapasitas. Truk tronton bernomor polisi N 8051 EA tersebut memiliki kapasitas angkut 20 ton. Truk membawa muatan besi milik PT Wilmar Nabati Indonesia, mencapai 55 ton. Telah terjadi kelebihan muatan mencapai 275 persen.
“Belum lagi kendaraan sudah habis masa uji laik jalan. Perusahaan angkutan PT Sumber Abadi Bersama beralamat Ketawang 32/4 Gresik tidak mengurus uji laik jalan. Kendaraan truk dengan nomor kendaraan N 8051 EA, uji laik jalan sudah berakhir tanggal 6 Juli 2022,” katanya.
Banyak kasus kecelakaan serupa hingga sekarang tidak ada kejelasan tindak lanjutnya. Sejumlah kasus kecelakaan yang belum tuntas tahun ini, seperti kecelakaan di Simpang Rampak, Balikpapan (21/2/2022), kecelakaan bus pariwisata di ruas Tol Mojokerto – Surabaya (16/5/2022), kecelakaan bus pariwisata di Ciamis (21/5/2022).
“Kesemuanya bukan kesalahan pengemudi semata, sudah terbukti ada kontribusi kesalahan dari pemilik kendaraan (pengusaha angkutan). Namun hingga sekarang, polisi belum menuntaskannya,” katanya.
BACA:
Sopir Truk Demo Kebijakan Zero ODOL di Depan Dishub Jateng
Idealnya, lanjut dia, perjalanan angkutan barang maksimum sejauh 500 km. Kenyataaanya bisa di atas 1.000 km. Menggunakan moda kereta jauh lebih mahal, selain double handling juga masih dikenakan PPn 10 persen dan track acces charge (TAC).
“Operasional angkutan barang dapat diatur jam operasinya. Pengemudi membutuhkan tempat istirahat. Sementara tempat istirahat buat pengemudi truk belum tersedia,” katanya.
Masih jauh dari harapan tersedia tempat istirahat yang nyaman. Pemerintah belum membangun terminal angkutan barang hanya ada pangkalan truk yang dikelola swasta.
“Menurut KNKT (2022), 80 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan pengemudi lelah,” terangnya.
Beristirahat di rest area jalan tol juga tidak menjamin aman. Rest area yang berada ruas Tol Jakarta – Merak dikenal kurang aman bagi pengemudi truk. “Sudah berulang kali dilaporkan, namun hingga kini Kepolisian tidak pernah mengupayakan rest area tersebut bisa aman bagi pengemudi truk,” katanya.
Maka dari itu, demi keselamatan, polisi tetap harus semangat untuk mengusut tuntas kecelakaan lalu lintas yang sudah memicu korban jiwa. “Polisi harus mengusut tuntas ke pengusaha angkutan barang dan pengusaha pemilik barang agar dapat dipidana,” katanya.
“Jika tidak diusut hingga ke akar permasalahan, maka tinggal seperti bom waktu yang akan terjadi lagi berpindah tempat,” imbuhnya lagi. (*)