SEMARANG (jatengtoday.com) – Konsistensi Sanggar Greget Semarang dalam menjaga spirit seni dan budaya memang tak perlu diragukan lagi. Setelah puluhan tahun berdiri, Sanggar yang mengawali nafas sejak tahun 1972 ini terus berlenggak-lenggok dan mengepakkan sayap bagai Burung Kepodang bertengger pada ranting budaya Jawa Tengah.
Yoyok Bambang Priyambodo, pengasuh Sanggar Greget mengungkapkan bahwa menjaga konsistensi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Apalagi dengan lintasan zaman yang makin hari makin memberi tekanan. Meski demikian, lanjutnya, Sanggar Greget Semarang selalu tak mau menyerah.
Berbagai upaya, ide kreatif, dan segenap tenaga selalu dicurahkan agar setidaknya anak cucu masih bisa melihat keagungan budaya yang telah diwariskan nenek moyang selama berabad-abad.
“Memang kami tidak mau menyerah. Kita lihat bagaimana kondisi zaman sekarang ini dan melihat apa-apa saja yang perlu kita serap. Sehingga kita mampu beradaptasi tanpa meninggalkan akar tradisi. Supaya jejak leluhur masih bisa dirasakan oleh anak cucu di masa mendatang,” ungkap Yoyok, ditemui saat acara Greget Festival Tari ke-65 di Museum Ranggawarsita Semarang, Sabtu (7/6/2025) malam.
Apa yang disampaikan salah satu Maestro tari itu bukanlah ucapan kosong belaka. Sanggar Greget mampu membuktikan bahwa sanggar tari mampu menjadi wadah bersama dalam benang merah seni tradisi, meskipun di masa kini. Dengan metode serta manajemen yang terus di-upgrade, sanggar ini mampu mencetak ratusan penari.
Dalam kepungan zaman, Sanggar Greget bertransisi mulai dari sanggar tradisi menjadi sanggar yang pengemasannya lebih modern. Bukan dalam hal manajemen saja, bahkan berbagai ide kreatif masa kini juga terus dieksplorasi.
Sangghita Anjali, anak pertama Yoyok Priyambodo, mengatakan tantangan zaman memang relatif cukup besar. Dia menilai hal tersebut tak dapat dihindarkan. Sehingga berbagai upaya dilakukan guna terus mampu mewujudkan spirit tradisi di masa modern ini.
“Awalnya memang kaget. Namun karena saya terlibat di sini (sanggar) sudah sejak kecil, jadi saya akhirnya bisa menyesuaikan dalam meneruskan sanggar. Bahkan sekarang bapak (Yoyok) sudah lebih banyak di belakang layar saja,” kata Ghita.
Ghita menjelaskan, banyak ide-ide kreatif yang dia masukkan untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Seperti Tari Kepodang, salah satu tari yang disajikan malam ini. Awalnya tari tersebut bernama Tari Podang. Namun oleh Sangghita tari yang dibuat Yoyok Priyambodo sekitar 30 tahun silam dia garap ulang sesuai dengan perspektifnya.
“Bapak dulu membuat tari Podang dengan gaya yang mungkin pas pada masa dulu. Namun saya pikir gerakan-gerakannya bisa diubah dan disesuaikan dengan karakter sekarang yang gesit, lincah, dengan tatapan tajam. Namun, saya tidak mau meninggalkan akar tradisinya Tari Podang. Kemudian namanya diganti jadi Tari Kepodang. Bukan hanya Tari Kepodang, ada juga Tari Gajah yang digarap ulang Mahendra, itu juga gerakannya banyak yang diganti,” jelasnya.
Bukan hanya pada gerakan saja, penggarapan ulang tari juga dimaksimalkan hingga ke gending iringannya. Canadian Mahendra, anak kedua Yoyok, menjelaskan banyak iringan gending yang terus mengalami perubahan. Hal itu, lanjutnya, dimaksudkan agar tari kembali memperoleh semangatnya sebagai sebuah sajian tradisi di masa kini.
“Setiap tari itu kan memiliki jiwanya masing-masing. Terkadang jiwa itu kan bisa lelah. Nah iringan gending mulai dari musik hingga syair yang terus diperbarui saya rasa bisa memunculkan kembali semangat dalam pertunjukkan,” kata Mahendra.
Modifikasi yang terus dikembangkan oleh Sanggar Greget nampaknya tidak akan pernah usang. Transisi untuk meneruskan sebuah visi juga bukan merupakan hal yang tabu. Utamanya, semangat menjaga nilai seni dan budaya yang terus dipertahankan layak mendapat acungan jempol.
Dalam pertunjukkannya, Sanggar Greget Semarang menyajikan Tari Priyambodo, Tari Pasar Yaik, Tari Kancil, Tari Bebek, Tari Semut, Tari Kumbang, Tari Gogor Blacan, Tari keong, Tari Belalang, Tari Kuntul, Tari Kenari, Tari Banteng, Tari Kepodang, Tari Diradha Esti, serta Tari Pesona Jawa Tengah. Pagelaran tersebut diikuti oleh 135 penari siswa Sanggar Greget Semarang. (*)