SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebuah perusahaan obat, PT Sampharindo Retroviral Indonesia yang terletak di Jalan Tambakaji Raya Nomor 8 Semarang resmi memproduksi obat HIV/AIDS pertama di Indonesia.
Pabrik tersebut telah mendaftarkan sebanyak lima jenis obat dengan total investasi kurang lebih Rp 90 miliar, di antaranya dari investor asal India. Namun dari lima jenis obat tersebut, baru dua jenis yang telah mendapatkan izin edar. Keduanya adalah Telado dan Telavir. Tidak hanya untuk HIV/AIDS, nantinya di antara jenis obat tersebut bisa digunakan untuk obat virus corona yang belakangan ini mengguncang dunia.
“Kami mengajukan lima jenis obat. Saat ini baru dua jenis yang telah diberikan izin edar,” kata Direktur Utama PT Shampharindo Perdana, M Syamsul Arifin, usai peresmian operasional pabrik, Kamis (27/2/2020).
Syamsul menjelaskan, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia saat ini kurang lebih 600 ribu. “Dari jumlah itu, yang diobati jumlahnya hanya 17 persen. Sangat kecil sekali. Masalahnya di antaranya karena harganya mahal, produknya belum ada dan seterusnya. Dengan adanya pabrik ini, harapannya ketersediaan cukup, harganya bisa ditekan, sehingga orang yang terapi meningkat,” terangnya.
Dia menyebut, WHO mencatat bahwa penderita HIV/AIDS 90 persen terdeteksi. Sehingga 90 persen tersebut harus diobati secara rutin hingga viral load tersebut hilang. “Dengan diobati penderita tersebut, dia tidak menularkan ke orang lain. Karena yang kami produksi ini standar WHO yang baru, bisa menghilangkan viral load. Termasuk ibu hamil yang terkena HIV/AIDS bisa minum agar tidak menularkan ke anaknya,” bebernya.
Dari lima jenis obat yang didaftarkan, satu di antaranya adalah jenis obat yang bisa digunakan untuk virus corona. “Di Korea, sekarang dipakai untuk Corona. Semua virus akan dirusak proteinnya dengan obat ini,” katanya.
Kepala Balai Pengawasan Obat Makanan (BPOM) RI, Penny Kusumastuti Lukito mengatakan, BPOM sebagai bagian dari pemerintah, tugasnya memfasilitasi aspek kemudahan berusaha dan investasi. “Sehingga kita bisa mandiri dan membuat produk sendiri di dalam negeri. Menghasilkan produk yang lebih murah. Itu tujuan dari investasi,” katanya.
Selain kemudahan berusaha, selanjutnya kecepatan perizinan. Penny menjamin proses pengurusan perizinan sekarang bisa dilakukan dengan cepat. “Sebagaimana perizinan produk ini hanya lima hari kerja. Kami berharap riset berkembang, karena obat anti virus sangat dibutuhkan di Indonesia dan diproduksi di dalam negeri agar harganya lebih murah,” katanya.
Lebih lanjut, kata Penny, pengembangan industri farmasi diperlukan kerjasama lintas sektor. “Dalam lima tahun terakhir, 2014-2019, catatan kami, terdapat 224 Industri Farmasi dan 40 investasi baru, dari 40 investasi itu 17 di antaranya merupakan investasi asing. Dua lagi sedang berproses,” katanya.
Menurut dia, pertumbuhan investasi tersebut akan terus berkembang. Sebab, Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang farmasi. “Apalagi ada program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), demand terhadap obat juga semakin besar. Serta keinginan pemerintah untuk mandiri. Sehingga kita memberi peluang besar investasi. Salah satunya dengan cara mempermudah perizinan,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto