in

Cara Kawan Saya Bebas dari Kecanduan Alkohol 15 Tahun

Minuman beralkohol itu penuh mitos. Nggak ada sehatnya. “Berhenti” adalah cara paling murah.

(Credit: siraanamwong)

Pada suatu hari, saya bertemu seorang kawan, yang mengaku sudah tidak konsumsi minuman beralkohol lagi. Sebelumnya, dia kecanduan alkohol 15 tahun.

“Alasan saya berhenti, bukan karena agama. Saya tahu, keyakinan orang berbeda-beda, jadi saya tidak perlu nyatakan dalil seperti di YouTube tentang larangan ini itu,” katanya.

Kemudian ia bercerita mengapa berhenti minum alkohol, seperti ini..

“Saya berhenti minum alkohol karena.. Pertama, saya tidak percaya iklan gaya hidup alkohol, bahwa itu gastronomi tentang bahan terbaik, campuran pilihan, warisan alam, dll.”

Iklan adalah iklan. Buah perasan yang difermentasi, perayaan, cerita tentang bencana kematian di Eropa yang “dipulihkan” dengan bir di masa lalu, penampilan para bintang, gaya hidup, semua itu adalah iklan. Tidak relevan dengan dunia saya. Kemarin saya memaksakan diri untuk minum, dan termakan iklan-iklan itu, namun ternyata semua itu semu.

Dia meneruskan, “Apa yang saya minum adalah minuman KW dan berbahaya.”

Seharusnya, para peminum tidak melihat label yang ada. Ambil sampel, uji di laboratorium, itulah kandungan yang sebenarnya. Banyak berita tentang pencampuran alkohol dengan zat pewarna tekstil, proses yang kita tidak tahu seperti apa, dan bagaimana alkohol 75% dioplos dengan bahan lain kemudian dikonsumsi para peminum.

Mitos-mitos tentang Minuman Beralkohol

Alkohol adalah minuman yang dipenuhi mitos. Dengan mitos, alkohol diceritakan dan dikonsumsi orang. Sama seperti kawan saya yang sempat tertarik minuman beralkohol karena “iklan”. Mitos lebih kepada cerita, lapisan makna yang ditambahkan dari aslinya.

Mitos “bekerja” ketika orang melihat “hasil”, tanpa melihat faktor lain yang menentukan hasil. Misalnya, hampir di setiap film genre action spy dan western, kita menonton tokoh protagonis minum alkohol, kemudian yang ingin minum alkohol terjebak dalam mitos bahwa minum alkohol itu tidak mengganggu kesehatan, buktinya: orang Barat sering konsumsi alkohol dan mereka sehat. Tentu saja, ini bias berpikir yang mengabaikan faktor pembentuk realitas. Faktanya, tidak semua orang Barat itu pintar, dan jika pintar, penyebabnya bukan dari alkohol.

Melihat Orang yang Kuat Minum. Satu krat bir dihabiskan 2 orang. Atau 1 liter arak dihabiskan sendirian. Kita sering dengar (atau lihat sendiri) cerita seperti ini. Orang yang “kuat minum” tanpa rasakan efek normal, bukan berarti ia benar-benar kuat. Ia hanya berhasil mengembangkan toleransi terhadap alkohol di mana ia sudah terlalu sering minum alkohol. Cara tubuhnya menerima alkohol sudah tidak seperti orang lain pada umumnya.

Menganggap Alkohol sebagai Makanan Suplemen. Alkohol bukan makanan suplemen. Alkohol tidak memiliki nilai gizi. Tidak mengandung mineral. Berisi sejumlah kalori besar, yang akan disimpan menjadi lemak, dan akan digunakan tubuh nanti. Konsumsi berlebihan, hasilnya berat berlebihan.

Alkohol Dapat Menghangatkan Tubuh. Alkohol tidak meningkatkan suhu tubuh. Konsumsi alkohol justru menyebabkan penurunan suhu tubuh internal (dalam). Ini proses yang terjadi: pembuluh darah dibuka (melebar) pada permukaan kulit dan darah didinginkan oleh paparan yang lebih besar ke lingkungan luar tubuh. Saat darah yang didinginkan bersirkulasi, suhu inti diturunkan secara bertahap, tetapi secara signifikan. Proses ini berlanjut selama alkohol ada di dalam tubuh. Cemas dan tubuh merasa tidak nyaman adalah bagian dari proses ini.

Memakai Alkohol sebagai Perangsang. Tidak bisa. Alkohol bukan obat perangsang. Alkohol adalah depresan, bisa menenangkan sistem saraf pusat. Area otak pertama yang terpengaruh adalah korteks serebral, yang mengontrol penilaian, pengendalian diri, dan hambatan. Depresi pada bagian otak ini dapat menyebabkan perilaku yang bersemangat, karena merasa hambatan hilang. Jangan heran kalau ketika orang mabuk atau kecanduan alkohol, sering bias dalam menilai sesuatu, merasa percaya diri, dan tidak bisa melihat hambatan. Justru 3 hal itu yang membuat seseorang kacau ketika mencapai tujuan: sering salah dalam menilai, hanya bermodal percaya diri, dan melupakan hambatan.

Kawan saya melanjutkan, “Satu-satunya cara memperbaiki tubuh dari alkohol memabukkan adalah dengan berhenti mengkonsumi alkohol memabukkan. Titik.

Kondisi seseorang tidak pernah membaik karena minum alkohol dan tidak akan lebih baik. Para peminum berani minum karena mereka merasa sehat. Jika tidak sehat, mereka pilih tidak minum dulu.

Berhenti adalah cara termurah, tercepat, dan paling sederhana untuk dapat kekuatan super, agar tubuh lebih sehat.”

Alasan Kesehatan Mengapa Minuman Beralkohol Berbahaya

Alasan ini tidak dipercaya orang, sebelum mereka merasakan bagaimana susahnya merawat orang kecanduan, dan besarnya biaya pengobatan akibat kecanduan alkohol.

Kalau alasan ini kamu baca, kamu akan temukan mengapa secara medis alkohol berbahaya bagi tubuh dan otak manusia.

Sebenarnya, Pemabuk Sulit Tidur Malam karena.. Minum alkohol di jam malam, sebelum tidur, meningkatkan pola gelombang alpha di otak, yang membuat otak terus-bekerja. Ini dirasakan para pemabuk, di mana mereka membicarakan apa saja yang melintas dalam pikiran ketika mabuk. Mereka mengatakan dirinya “masih sadar” karena masih bicara normal dan tahu apa yang terjadi di sekitarnya (ketika mabuk). Kualitas tidur bisa menjadi lebih baik jika kamu berhenti mengkonsumsi alkohol, terutama di jam-jam sebelum tidur.

Gula dalam Alkohol Memicu Dopamine, dengan Akibat Panjang.. Alkohol (jenis etanol) yang memabukkan, di dalam minuman keras, memiliki kandungan gula. Konsumsi gula meningkatkan level dopamine, zat kimia di dalam otak, yang memicu timbulnya rasa senang dan ini membuat ketagihan.

Tidak mengherankan, ketika sedang dalam masa berhenti mengkonsumsi alkohol, selalu ada keinginan kuat untuk minum lagi. Jadi, yang membuat orang ingin selalu minum itu karena pengaruh gula yang meningkatkan dopamine. Efeknya, bagi fisik, bersifat kumulatif. Gula akan bercampur dengan darah, aliran darah menjadi berat, dan malas bergerak. Sementara, otak bekerja dengan cara “merasa senang” dan “terpuaskan” sesaat. Disebut kecanduan, karena, perasaan senang dan puas sesaat itu terus memicu kebutuhan untuk mengkonsumsi minuman.

Dehidrasi dan Kulit Kusam. Kulit mengalami dehidrasi akibat sering mengeluarkan cairan. Contoh paling nyata, ketika orang minum alkohol bersama, mereka lebih sering kencing dan tubuh menjadi kekurangan cairan. Minum dan minum lagi, namun dikeluarkan lagi dalam bentuk keringat dan kencing. Lihatlah kulit para pecandu alkohol, terutama ketika mereka sudah menua.

Hati Bekerja Lebih Keras dan Lebih Sering Bunuh Diri. Hati (liver), bagian tubuh yang bisa memperbaiki-diri ketika mengalami kerusakan, bekerja lebih keras, ketika harus menyaring racun dari alkohol yang masuk ke tubuh. Sel hati menjadi lebih sering “bunuh-diri” demi menetralisasi racun di dalam tubuh akibat konsumsi alkohol. Seperti mesin yang tidak pernah berhenti bekerja. Jika rusak, maka liver “kena”, kemudian sakit hati. Racun tidak bisa dinetralisasi sebaik pemilik hati yang sehat, sehingga sangat rentan terkena penyakit lain.

Masalah Berat Badan. Hanya dengan berhenti minum alkohol saja, berat badan bisa turun 1-2 kg tanpa diet. Konsumsi kalori harian, hanya sekitar 300 cal. Bagi peminum alkohol sedang, mereka mengkonsumsi 433 cal setiap hari. Tidak mengherankan jika para peminum memiliki berat badan over, sulit diturunkan.

Meskipun sebenarnya organ hati adalah organ yang bisa memperbaiki dirinya sendiri ketika rusak, tapi tetap saja terlalu sering minum alkohol dapat mematikan berbagai jaringan di dalamnya. Setiap kali hati menyaring alkohol yang masuk ke tubuh, beberapa sel hati akan mati.

Nah dengan menjauhkan diri dari alkohol tentu akan menjaga kesehatan dan fungsi hati. Organ hati Anda akan lebih maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagai penetral racun di dalam tubuh.

Ada satu hal yang membuat seseorang sulit berhenti, yaitu..

Mereka Tidak Mau Berhenti Karena “Disonansi Kognitif”

Apa itu “disonansi kognitif”? Antara pikiran dan tindakan, tidak sejalan.

Akhirnya, mencari pembenaran atas apa yang ia lakukan. Ini tidak hanya terjadi pada orang-orang yang mabuk. Disonansi kognitif terjadi ketika orang melihat ketidakadilan, diam saja. Sudah punya tujuan baik dan disetujui oleh pasangan, bahkan dikasih modal, malah tidak segera menjalnkan rencana. Tetap merokok padahal dadanya sakit kalau merokok dan menghabiskan uang banyak untuk beli rokok. Pamer dalil tetapi perilakunya sendiri nggak sejalan dengan dalil yang ia pegang.

Disonansi kognitif terjadi karena beberapa hal.

Tekanan dari orang lain, bisa menjadi faktor utama. Misalnya, seorang istri melarang suaminya merokok atau mabuk, karena alasan kesehatan dan ekonomi, tetapi ia sampaikan dengan cara yang kurang menyenangkan. Hasilnya, suami memilih mabuk dan merokok tanpa sepengetahuan isterinya. Ia akan mencari pembenaran tindakan itu, karena faktor “melawan perlakuan” dari orang lain.

Faktor lain, karena yang dia hadapi merupakan dilema pengambilan keputusan. Dengan ungkapan lebih mudah, mereka sulit menentukan pilihan. Mungkin tertarik karena melihat pola perilaku.. Ada jurus “dewa mabuk”, orang yang mabuk di film sepertinya keren sekali ketika menghajar musuh, atau ingin “membuktikan” pengalaman kawannya.

Disonansi kognitif terjadi karena memandang tujuan (yang ingin dicapai), dengan perspektif negatif. Misalnya, sudah lama belajar, tetap saja tidak pintar, atau sudah bekerja keras, tetap saja tidak kaya (dan istri selalu marah). Evaluasi negatif, hasilnya buruk. Pada kasus ini, cobalah berpikir dengan perspektif berbeda. Jangan negatif melulu.

Kawan saya sampai pada pengakuan terdalam..

“Lihatlah apa yang terjadi pada orang-orang tua peminum di masa tua mereka.

Alkohol membuat orang histeris, emosional (perasaan meluap), dan berbicara di depan publik meskipun sedang sendirian.

Kehilangan rasa-sakit sesaat, tidak sebanding dengan biaya yang ditukar untuk minum.

Dia penasaran, “Saya ingin tahu, apa yang terjadi kalau saya berhenti minum alkohol.”.

Akhirnya saya tertarik sampaikan apa yang ia katakan itu, kepada para pembaca lain. Saya bukan moralis, tidak membenci para peminum, juga tidak mendukung para peminum. Saya hanya ajak hidup sehat dan mencoba melakukan refleksi, “Apakah yang sedang saya lakukan sekarang ini, mendukung tujuan hidup saya dalam jangka panjang?”. Pertanyaan itu layak ditanyakan, ketika sedang mengalami kecanduan alkohol, atau aktivitas lain.

Saya menghargai pengakuan kawan saya itu, yang sudah berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol, atas pilihannya sendiri. [dm]