BANDUNG (jatengtoday.com) – Stakeholders pada bidang keikliman telah mengeluarkan prediksi bahwa Indonesia akan menghadapi anomali iklim di sepanjang tahun 2023-2024. Salah satunya fenomena El Nino yang berkaitan dengan erat dengan kekeringan.
Berdasarkan keterangan tertulis yang disampaikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (10/5/2023), secara geografis, Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Australia serta Samudera Hindia dan Pasifik. Pertukaran massa udara serta interaksi atmosfer dan laut yang terjadi di wilayah tersebut berpengaruh terhadap iklim Indonesia.
Salah satu fenomena global interaksi atmosfer-laut yang terjadi di Samudera Pasifik dan menjadi climate driver di Indonesia adalah El Nino-Southern Oscillation (ENSO). ENSO terbagi dalam dua kejadian yaitu fase dingin (La Nina) dan fase hangat (El Nino). La Nina dan El Nino dapat menyebabkan musim kemarau dan musim hujan di Indonesia bersifat lebih basah atau lebih kering.
“Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), 9% dari wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Setelah 3 tahun beruntun Indonesia ada fenomena La Nina sejak 2020, lalu berlanjut di 2021 hingga 2022, BMKG memprediksi arah El Nino yang menarik untuk dikaji,” ujar Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan, pada National Climate Expert Forum (NCEF) dengan tema Prospek El-Nino 2023 dan Perkembangan Musim Kemarau Tahun 2023.
I Putu Santikayasa dari Program Studi Pascasarjana Klimatologi Terapan – IPB, menyampaikan hasil riset yang dilakukan oleh tim. Saat ini kondisi ENSO pada fase netral yang menjalar ke arah El Nino. Terjadi peningkatan Anomali SST pada wilayah Nino 3.4 sebagai indikasi kuat terjadinya El Nino.
Baca Juga: Gelombang Panas Melanda Asia, Bagaimana Dampak di Indonesia?
“Kondisi tersebut diperkuat oleh berbagai hasil observasi dari OLR, anomali angin zonal termasuk juga akumulasi panas permukaan serta kondisi atmosfer bawah dan atas. Indikasi kemarau tahun 2023 yang semakin kuat juga dipicu oleh nilai IOD yang diprediksi pada fase positif dan juga hasil prediksi BMKG yang menyebutkan bahwa terjadi periode penurun curah hujan dari nilai normal,” ungkapnya.
Eddy Hermawan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, dalam paparannya terkait Prospek El-Nino dan Perkembangan Musim Kemarau 2023 menyampaikan risetnya berdasalkan hasil prediksi menggunakan model ENSO.
Periode Kritis
“Berdasarkan model prediksi ENSO dari April 2023, diperkirakan anomali SST Nino 3.4 meninggalkan batasan normal (netral) di atas 0.5 derajat diperkirakan akan terjadi antara Mei, Juni, Juli 2023. Jika analisisnya hanya berbasis data SST Nino 3.4 saja, maka kita tidak akan tahu apabila musim kemarau tahun 2023 dimulai dan berakhir, termasuk durasinya agar dapat ditentukan apakah musim kemarau tahun ini tergolong di atas, normal atau di bawah normal. Periode kritis ini terjadi pada Juli, Agustus, September 2023,” jelas Eddy.
Menurutnya wajar jika hingga awal Mei 2023, kawasan barat Indonesia masih dilanda hujan, mulai rendah, sedang bahkan beberapa kawasan yang relatif tinggi.
Baca Juga: Sudah Masuk Kemarau tapi Masih Turun Hujan, Begini Penjelasan BMKG
“Hal ini bukan karena hadirnya El-Nino Modoki atau lainnya. Sedangkan untuk musim kemarau 2023 masih tergolong normal jika dikaji dari durasinya yang memang hanya 3-4 bulan saja, namun tetap harus diwaspadai karena intensitas yang dihasilkannya masih tergolong tinggi,” jelasnya.
Lebih lanjut Eddy menyampaikan, ada kejanggalan di mana pemanasan intensif sebenarnya telah dimulai sejak Mei 2023, namun akan menurun pada Juni 2023. Hal ini berakibat pada perlunya evaluasi kembali lahirnya El Nino dimulai sejak periode Mei – Juni – Juli 2023.
Sedangkan periode Juni, Juli, Agustus 2023 lahirnya El-Nino di BMI, ada pergeseran waktu 1 bulan. Dengan asumsi jika musim kemarau 2023 terjadi interaksi yang terjadi antara SST Nino 3.4 dan IOD, maka periode Juli – Agustus – September 2023 harus diwaspadai, karena merupakan periode terpanas.
“Walaupun tidak terindikasi bakal terjadi Kemarau Basah, namun musim basah (musim hujan) yang relatif lama durasinya perlu diwaspadai. Perlu dibangun satu Purwarupa yang secara online dapat menampilkan kondisi terkini status SST Nino 3.4 & IOD dalam bentuk format spatio-temporal,” tutup Eddy.
NCEF diselenggarakan pada Senin (8/5/2023) secara daring dan menghadirkan narasumber dari BMKG, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer. Forum pertemuan antar-Kementerian/Lembaga ini diharapkan dapat mengantisipasi dampak kemarau yang mungkin saja terjadi di masa datang. (*)