JAKARTA (jatengtoday.com) – Perjalanan panjang aktivis perempuan memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU akhirnya menuai hasil.
Pimpinan DPR RI dalam Sidang Paripurna, Selasa (12/4/2022), telah mengesahkan RUU TPKS menjadi UU setelah tujuh fraksi menyetujui yakni FPAN, FPDIP, FP Golkar, FPAN, F Nasdem, FPKB, FPPP, FP Demokrat, menyetujui. Satu fraksi yakni FPKS menolak RUU TPKS dalam pengambilan putusan Tingkat I di Baleg DPR RI Rabu (6/4/2022).
Disahkannya RUU TPKS menjadi UU disambut gegap gempita oleh masyarakat Indonesia, termasuk Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS).
JPHPKKS yang terdiri atas pegiat isu perempuan, advokat, jurnalis, pendamping korban, akademisi, dan peneliti bersuka cita dan mengapresiasi kerja keras pemerintah dan DPR RI tersebut.
“Selama hampir delapan tahun, UU yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional DPR RI dan gagal dibahas di Komisi Agama (Komisi VIII) DPR RI. Akhirnya masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, anak, dan kelompok disabilitas kini memiliki payung hukum yang memberikan perlindungan dari ancaran kekerasan seksual,” ungkap Asfinawati, dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera.
Asfinawati menjelaskan, terkait disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS, JPHPKKS menyampaikan beberapa catatan, secara substansi terdapat enam elemen kunci yang dimandatkan dalam UU ini, yaitu pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, hukum acara.
“Substansi tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS adalah adanya sembilan bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan saran elektonik, dan eksploitasi seksual,” terangnya.
Sayangnya, lanjut dia, ada dua usulan JPHPKKS yakni pemaksaan aborsi dan perkosaan tidak masuk dalam UU. “Perkosaan diatur di dalam pasal jembatan, yang nantinya akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Padahal, kasus perkosaan dengan korban perempuan dan anak sebagaimana kita ketahui terus berulang terjadi,” katanya.
Korban perkosaan dapat menggunakan hukum acara UU TPKS jika dalam RUU RKUHP juga diatur pasal jembatannya. Terkait hukum acara, lanjut dia, UU secara progresif mengatur restitusi (ganti rugi) yang merupakan hak korban, di mana sita restitusi dapat dilakukan sejak penyidikan.
“Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi akan dibayarkan oleh negara melalui victim trust fund (dana bantuan korban) yang akan dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” katanya.
Menurutnya, selama ini korban kekerasan seksual kerap terabaikan dan tidak ada kehadiran negara dalam penanganan kasusnya. “Dengan adanya restitusi, negara hadir dan korban mendapatkan haknya. Pencegahan juga diatur cukup komprehensif di mana ada peran serta masyarakat dan keluarga,” terangnya.
BACA JUGA: RUU TPKS Disahkan, Buah Perjuangan Perempuan Indonesia
Bidang Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti, menambahkan, layanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban juga menjadi salah satu nyawa UU ini. Di mana pendamping berbasis komunitas juga dieksplisitkan.
“Pemberatan pidana juga diatur, bagi pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemuka agama, keluarga diperberat 1/3. Bagi pelaku korporasi, juga ada pencabutan izin usaha, pembekuan seluruh/sebagian kegiatan korporasi,” katanya.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
Lebih lanjut, kata Ratna, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mendorong pemerintah segera menindaklanjuti UU ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana UU tersebut.
“Pembahasan PP kami harapkan melibatkan masyarakat sipil khususnya para pendamping korban. Capaian dan kerja keras DPR bersama pemerintah perlu kita apresiasi bersama, apalagi dalam UU ini mengatur pula pemantau eksternal yang akan dilakukan oleh Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI dan Komnas Disabilitas,” terangnya. (*)