JAKARTA (jatengtoday.com) – Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Musdah Mulia mengatakan bahwa maraknya kampanye ta’aruf dan kampanye anti-pacaran bisa memicu tingginya kasus perkawinan anak.
“Ada kampanye ta’aruf, kampanye anti pacaran juga. Itu terjadi di mana-mana sehingga perkawinan anak menjadi menyeruak,” kata Musdah ketika memberi paparan materi dalam seminar bertajuk “Pancasila, Perempuan, dan Patriarki” yang disiarkan di kanal YouTube LP3ES Jakarta, dipantau dari Jakarta, Senin (30/5/2022).
Mengutip dari laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Presiden RI Joko Widodo menargetkan agar Indonesia dapat menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024.
Pernyataan dari Presiden RI telah menjadi mandat bagi pemerintah untuk menekan angka perkawinan pada usia dini, terlebih Indonesia merupakan salah satu negara yang menempati posisi tertinggi di Asia Tenggara terkait dengan jumlah perkawinan anak.
“Sejak 2019, Mahkamah Agung menetapkan sebuah putusan bahwa usia minimal menikah itu adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Tetapi, karena Undang-Undang Perkawinan itu tidak punya sanksi, jadi setiap orang yang melanggar undang-undang perkawinan itu juga tidak ada masalah,” ucapnya.
Hal inilah yang lantas menyebabkan perkawinan di bawah umur masih berlangsung dengan marak di Indonesia, berbeda dengan negara lain yang memiliki sanksi tegas apabila melakukan perkawinan di bawah umur, seperti Turki.
Menurut Musdah, maraknya fenomena sosial seperti kampanye ta’aruf, kampanye anti-pacaran, kampanye perkawinan dini, hingga kampanye poligami merupakan dampak dari masuknya fundamentalisme keagamaan yang tidak diantisipasi oleh masyarakat maupun pemerintah ketika memasuki masa reformasi.
Ideologi ini, tutur Musdah melanjutkan, juga merupakan tantangan bagi feminisme yang sedang memperjuangkan keterwakilan perempuan dan hak-hak perempuan di Indonesia.
“Fundamentalisme memanfaatkan ajaran agama untuk melegitimasi kekuasaan patriarki sekaligus meminggirkan perempuan. Ini yang menguat di masa-masa sekarang. Karena itu, perjuangan feminisme sekarang menjadi lebih serius,” kata Musdah. (*)