in

Bahasa: Sakralitas, Identitas, dan Fleksibilitas

Ilustrasi (foto: AI)

Bahasa Indonesia, sebagai lambang identitas nasional, tumbuh melalui proses silang budaya yang dinamis. Salah satu sumber pengembangannya adalah penyerapan kosakata dari pelbagai bahasa asing, termasuk Arab, juga Inggris. Namun, ketika kata-kata yang diserap merupakan istilah yang kiranya memilik sentuhan religius dan sarat akan makna spiritual, proses standardisasi bahasa sering bersinggungan dengan pengalaman menutur secara personal.

Fenomena seperti perubahan ejaan “sholat” menjadi “salat” atau “ridha” menjadi “rida” dan “istiqomah” menjelma “istikamah” yang tiada kiranya sekadar menjadi urusan tata bahasa ataupun baku-tidaknya, tetapi juga menyentuh ranah emosi dan makna terdalam bagi masyarakat penuturnya. Sebagaimana ihwal ini pernah disinggung oleh Iqbal Aji Daryono dalam salah satu tulisannya di buku berbahasa yang logis dan gembira (2023) yang mengamati kejanggalan ini.

Di satu sisi, kita berhadapan dengan konstruksi linguistik dan proses penyerapan bahasa itu sendiri. Bahasa memang bersifat dinamis dan arbitrer (manasuka). Seperti dijelaskan dalam buku Filsafat Bahasa: Kajian Konteks Kekinian (2022), bahasa akan selalu berubah pada semua tataran, baik itu dari aspek fonologis, morfologis, dan yang lainnya (yang masih berkelindan dalam ranahnya).

Abdul Chaer dalam Filsafat Bahasa: Kajian Konteks Kekinian (2022) menjelaskan bahwa perubahan fonologis merupakan suatu keniscayaan. Bahasa Indonesia dahulu kala belum sepenuhnya mengadopsi fonem-fonem Arab seperti /kh/ atau /sy/, sehingga kata semacam “khabar” misalnya, diserap menjadi “kabar”. Proses adaptasi fonologis ini adalah bagian integral dari hukum alam bahasa untuk meresapi sistem bunyi kelokalan.

Sifat arbitrer bahasa— bahwa tidak ada hubungan mutlak antara kata dan maknanya—juga memperkuat hal ini. Sebagaimana diilustrasikan, binatang yang dalam bahasa Indonesia disebut [kuda] di Klaten bisa disebut [jaran], dan dalam bahasa Inggris [horse]. Bukankah dalam mengistilahkan suatu benda tidak semua wilayah akan sama? Oleh karena itu, klaim bahwa satu bentuk ejaan lebih “benar” atau “sakral” secara linguistik murni tidak menjadi sentral.

Pembakuan oleh KBBI, dalam kerangka ini, adalah upaya sistematika untuk mengindonesiakan kata asing agar menjadi “milik bersama” yang efektif dalam ranah resmi dan administrasi kenegaraan, serta bisa digunakan tidak hanya dari satu komunitas sahaja.

Pendangkalan Dimensi Sosiokultural

Kendati demikian, masalah yang sebenarnya bukan terletak pada kebenaran linguistik tersebut, melainkan pada pendangkalan terhadap dimensi sosiokultural dan afektif bahasa. Bagi banyak Muslim, kata-kata seperti “sholat”, “istiqamah”, dan “ridha” telah terinternalisasi melalui pengajaran agama, doa, dan ritual sejak dini. Pun dari kecil kita sudah banyak diajarkan cara fasih membaca atau menggunakan bahasa Arab. Kata-kata ini membawa muatan emosional dan spiritual yang dalam.

Perubahan ejaan, bagi yang merasakannya, tidak terasa seperti adaptasi fonologis ala “khabar” menjadi “kabar”, melainkan seperti upaya mengeringkan kata dari makna sakralnya. Seperti yang diungkapkan Daryono (2023), bagi sebagian komunitas Muslim, perubahan ini terasa mengurangi nuansa kesakralan. Resistensi yang muncul adalah bentuk pelestarian identitas di tengah arus uniformitas, yang menyentuh aspek rasa bahasa yang tidak bisa abai hanya dengan dasar “bahasa itu dinamis”.

Bagaimanapun itu, solusi yang bijaksana terletak pada pengakuan bahwa satu kata dapat hidup dalam beberapa ranah pemakaiannya, dengan otoritas dan kesahihannya masing-masing. Kita perlu menerapkan prinsip “kesahihan kontekstual”. Bentuk baku seperti “salat” dan “rida” sah dan diperlukan dalam ranah resmi, seperti dokumen pemerintah, kurikulum sekolah, ranah publik dan pemberitaan media nasional. Fungsinya adalah sebagai alat pemersatu dan penjamin kepastian komunikasi publik.

Sementara itu, bentuk sakral yang komunal seperti “sholat” dan “ridha” sah dan harus dihormati dalam ranah tertentu: khutbah, pengajian, serta percakapan komunitas Muslim. Fungsinya adalah menjaga integritas makna teologis dan keakraban spiritual.

Peran KBBI pun dapat ditransformasi dari sekadar penentu baku menjadi jembatan budaya. Kamus tersebut dapat diperkaya dengan catatan etimologis dan kultural yang sensitif. Misalnya, pada entri “salat” dapat dicantumkan: “dari bahasa Arab sholat” bentuk tidak baku yang umum dalam konteks keagamaan”.

Kendati demikian, KBBI tidak hanya mendokumentasikan bentuk, tetapi juga merekam denyut penggunaan bahasa yang ada. Edukasi publik juga harus berjalan dua arah, masyarakat diajak memahami bahwa kebakuan dalam konteks administratif adalah konvensi kenegaraan, bukan penghapusan keyakinan. Sebaliknya, otoritas bahasa diingatkan bahwa sensitivitas kultural adalah penanda kedewasaan sebuah bahasa nasional.

Dinamika ini adalah cermin tantangan untuk merajut kesatuan tanpa mencabut akar keragaman. Bahasa Indonesia akan mencapai kedewasaan sejatinya bukan ketika ia menjadi entitas kaku. Namun, ketika ia menjadi ekosistem yang fleksibel dan inklusif. Ia bisa menjadi ruang di mana “salat” dan “sholat” tidak saling dinafikan, tetapi sama-sama diakui sebagai ekspresi yang sah dari identitas yang berlapis— sebagai warga negara dan sebagai umat beragama. Melalui ini, bahasa kita tidak hanya mempersatukan dalam uniformitas, melainkan merawat persatuan dalam keberagaman, yang justru itulah hakikat jati diri Bangsa Indonesia. (*)

Penulis

 

M. Azka Ulin Nuha

Sekarang sedang menjalankan studi Tadris(Pendidikan) Bahasa Indonesia di UIN Raden Mas Said Surakarta.