SEMARANG (jatengtoday.com) – Revisi Perda tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jateng dianggap semakin mempersempit lahan pertanian.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jateng, Benny Karnadi membeberkan, dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektar untuk lahan basah, dan 955.587 hektar untuk lahan kering. Sehingga luas totalnya 1.946.239 hektar.
Di Perda baru, ada perubahan substansi. Dalam Pasal 74A yang menyebut lahan pertanian lahan kering dan/atau lahan basah hanya seluas 1.025.000 hektar.
“Artinya, selisih luasan lahan pertanian 878.239 hektar telah hilang dari substansi Perda baru. Ini sudah disampaikan kepada gubernur dan DPRD saat memasukkan masalah ini dalam laporan reses,” ujarnya, Selasa (20/11/2018).
Dijelaskan, dari selisih tersebut, dalam KLHS revisi RTRW Jateng, menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektar dimana untuk lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas 214.385,45 hektar.
“Ada sekitar 663.853,55 hektar merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten/kota di Jawa Tengah,” terang anggota Komisi D DPRD Jateng ini.
Sebelumnya dalam RTRW perubahan Jateng, salah satu turunan industrialisasi yang direncanakan adalah penambahan produksi energi listrik. Dalam Pasal 27, penambahan tersebut meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten/Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten/Kota, maupun alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.
“Anehnya, ambisi penambahan produksi energi tersebut terjadi saat kondisi ketenagalistrikan di Jawa Tengah yang masuk region Jawa-Bali telah over capacity (surplus) sekitar 33 persen atau sekitar 8000 Megawatt,” ucapnya.
Apalagi, lanjutnya, berkaitan dengan rencana pembangunan PLTU Batubara di sepuluh daerah di Jawa Tengah, yaitu pada daerah dimana PLTU sudah berdiri seperti Rembang, Cilacap, Jepara, maupun Batang. Kemudian direncanakan penambahan enam lokasi baru PLTU Batubara, yakni di Demak, Kendal, Kota Semarang, Pemalang, Brebes, dan Pekalongan.
“Padahal kita perlu memahami bahwa PLTU Batubara adalah pembangkit listrik dari energi dan merusak lingkungan dengan dampak pencemaran air dan udara yang berbahaya,” katanya.
Tanpa adanya penambahan PLTU baru, lanjut Benny, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, seharusnya Jawa-Bali hingga pada tahun 2026 akan tetap surplus listrik hingga 41 persen.
“Data statistik menyebutkan, Jepara yang memiliki PLTU Batubara justru menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah se Jawa Tengah dengan rasio hanya 77,11 persen. Selain itu, Rembang yang juga memiliki PLTU Batubara, menjadi daerah dengan rasio elektrifikasi terendah ke-sepuluh di Jawa Tengah dengan rasio 87,46 persen,” katanya.
Melihat hal tersebut, FPKB mendesak untuk membatalkan 6 usulan proyek PLTU yang akan direncanakan. Ihktiar yang dilakukan oleh FPKB membuahkan pencoretan 5 proyek PLTU tambahan yang diusulkan dan hanya satu yang diterima yaitu Pemalang. (*)
editor : ricky fitriyanto