in

WPS GBL: Nggak Apa-apa Ditutup, Masih Bisa jadi Pemandu Karaoke

 

SEMARANG (jatengtoday.com) – Setelah menutup Lokalisasi Sunan Kuning (SK) pada 18 Oktober lalu, Pemkot Semarang juga berencana menutup Lokalisasi Gambilangu atau yang lebih dikenal dengan GBL pada 19 November besok.

Namun, pemerintah setempat masih harus berkoordinasi lebih lanjut. Sebab secara administratif, Lokalisasi GBL berada di perbatasan dua wilayah, yakni Kota Semarang dan Kabupaten Kendal.

Yang jelas, wacana penutupan tersebut tampaknya tak begitu menimbulkan gejolak. Dalam beberapa forum pertemuan, baik pengelola karaoke, muncikari, maupun wanita pekerja seks, tidak banyak yang mengajukan protes.

Kini, aktifitas di lingkungan GBL juga masih normal laiknya hari-hari biasa.

Berdasarkan pantauan pada Jumat (15/11/2019) pukul 15.00, karaoke sudah banyak yang beroperasi. Lengkap dengan para penjaja seks yang nongkrong di teras dengan mengenakan baju serba minim.

Beberapa dari mereka coba saya temui. Responnya macam-macam. Sayangnya, kebanyakan enggan memberi komentar terkait rencana penutupan. “Sama Bu Ningsih saja,” jawab salah satu WPS.

Bu Ningsih adalah sapaan dari Kaningsih yang merupakan Ketua Lokalisasi GBL. Sebelum ke lokasi, wartawan jatengtoday.com sudah berusaha menghubungi Kaningsih. Hanya saja ia sedang sibuk sehingga belum bersedia ditemui secara langsung.

Salah satu pengelola karaoke berinisial DB (49) pernah bercerita bahwa penghuni GBL memang rata-rata ‘manutan’. Jika sudah banyak yang menyepakati suatu hal, maka yang lain enggan untuk berseberangan pendapat.

“Jujur, saya sendiri dari dulu sebenarnya nggak setuju kalau ditutup. Tapi kalau saya bersuara sendiri kan nggak enak, nggak ngaruh juga wong mayoritas udah sepakat ditutup,” ceritanya.

Meskipun begitu, DB mengaku sudah tidak sekhawatir dulu. Sebab sekarang dia yakin, meskipun lokalisasi GBL ditiadakan, bisnis karaokenya bisa tetap jalan sebagaimana di eks Lokalisasi Sunan Kuning.

Setelah lama berkeliling GBL, saya menyempatkan untuk mampir di sebuah warung pojok warna hijau. Warung tersebut berada di GBL bagian bawah, masuk Desa Sumberejo, Kecamatan Kaliwungu, Kendal.

Di warung tersebut hanya ada 4 orang saja. Salah satunya perempuan dengan postur tubuh tinggi, rambut lurus, mengenakan kaos putih dan bawahan rok warna biru yang serba ketat.

Kami sempat berbincang. Sengaja saya tidak tanya nama, demi kerahasiaannya. Dia bercerita cukup panjang, termasuk menanggapi soal penutupan lokalisasi dan pandangan hidupnya ke depan.

Dia tidak terlalu mempermasalahkan penutupan itu asalkan uang pesangon bisa turun. Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, masing-masing WPS akan mendapatkan dana bantuan sosial sebesar Rp 6 juta.

Uang pesangon itu lebih besar dibanding dengan pesangon para WPS Sunan Kuning yang hanya Rp 5,5 juta. Perbedaan tersebut didasari atas sumber yang berbeda. Sunan Kuning menggunakan APBD Kota Semarang sementara GBL dialokasikan dari anggaran Kementerian Sosial RI.

WPS yang saya temui pun mengaku senang. “Malah bagus. Ditutup belakangan tapi uang pesangonnya lebih besar. Tapi kalau dipikir-pikir masih kurang lah, wong cuma segitu,” ucapnya.

Namun, secara umum, dia tetap menyepakati rencana penutupan. Selain karena sudah kesepakatan bersama, toh menururnya penutupan lokalisasi di GBL tidak akan berdampak signifikan terhadap hidupnya.

“Nggak apa-apa lah, setuju saja. Lagian nanti masih bisa kerja di karaoke,” tegasnya.

Berdasarkan pengalaman penutupan di Sunan Kuning, usaha karaoke masih diperbolehkan. Meskipun terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Seperti mengurus perizinan, tidak mempekerjakan orang di bawah umur, serta aturan jam operasi.

Dia tidak bisa memungkiri bahwa hidup di lingkungan seperti ini jauh lebih mudah dibanding berjuang bertahan hidup sendiri di kampung. Apalagi ia yang notabene sudah ditinggal suami 2 tahun lalu. “Kalau di rumah juga bingung mau ngapain,” tuturnya.

Ketua Lokalisasi GBL Kaningsih menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 93 karaoke. Semuanya masih beroperasi.

Dia berharap agar penutupan lokalisasi ini bisa diterima semua pihak. Kaningsih sekarang juga sedang memperjuangkan agar penghuni GBL lainnya tidak merasa kena imbasnya. Ada tukang ojek, pencuci baju, serta pemilik warung yang bergantung hidup di GBL.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Semarang Muthohar mengatakan, untuk jumlah WPS di GBL (yang masuk wilayah Semarang) sebanyak 126 orang. Jumlah ini lebih sedikit dari jumlah WPS Argorejo yakni sebanyak 448 orang.

Dia mengklaim semua WPS telah menerima dan mendukung rencana penutupan lokalisasi tersebut, yang didasarkan atas Perda Nomor 5 Tahun 2017. Nantinya seremonial penutupan akan dilakukan di Terminal Mangkang.

Pasca penutupan itu, dia berharap agar para WPS bisa pulang ke rumah masing-masing. (*)

 

editor : ricky fitriyanto