Banyak cerita pendirian kerajaan, strategi pembentukan masyarakat, bermula dari “membuka hutan”, dengan kearifan.
Pewayangan mengisahkan para Pandawa membuka Wisamarta.
Pandawa datang dalam undangan makan dari Kurawa, ke Astinapura. Mereka dijebak di Bale Sigala-gala, gedung kecil yang dibangun dari kayu dan jerami yang mudah terbakar.
Yamawidura, paman mereka, sudah memberikan isyarat, agar Pandawa tidak masuk. Namun, Puntadewa tidak punya rasa takut, ingin membuktikan undangan baik para Kurawa. Ia mengakak ibu dan adik-adiknya masuk.
Api menyala. Menjilat dan menghanguskan. Ada teriakan histeris, dan tersembunyi tawa licik para Kurawa.
Setelah pembakaran, tersisa seorang perempuan dan 5 anak lelakinya. Namun bukan Pandawa dan Kunthi. Mereka selamat karena mengikuti seekor hewan, yang menunjukkan jalan.
Dretarastra (sering disebut “Destharastra”) sedih mendengar keculasan 100 anaknya, apalagi mengingat ia hanya raja sementara, yang kelak harus menyerahkan tahta setelah Pandawa besar. Raja yang buta itu menawarkan hutan wisamarta (bukan wanamarta), sebagai lahan baru bagi para Pandawa. Termasuk fasilitas pembangunan.
Bima menolak bantuan. Ia ingin membabat hutan itu tanpa bantuan Astinapura.
Bima dan Arjuna berdua, berani membabat Wisamarta. Mereka sepasang pemuda bersaudara, yang sepenuhnya mengandalkan keberanian dan kesaktian. Namun, keduanya tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi.
Bima terjerat jala gaib. Tidak ada yang bisa menolongnya. Hutan itu milik para lelembut, yang ingin menjauh dari manusia.
Para lelembut yang sudah lama memiliki kerajaan, pengusik kekuasaan para dewa, dan mereka ingin mencari tuan terbaik. Kesaktian, bagi mereka sudah bawaan. Kekuasaan, bagi mereka tak berarti tanpa kerendah-hatian.
Dan mereka marah ketika wilayahnya diusik manusia. Mereka bosan dengan manusia yang selalu bertikai, meluaskan kekuasaan, dan membabat hutan.
Di antara para lelembut itu, ada Arimbi, yang melihat ksatria yang selalu mendatanginya dalam mimpi, sedang terhimpit jala gaib. Ia melepaskan derita Bima, lalu menampakkan diri. Arimbi menyatakan cintanya, ingin menjadi belahan jiwa Bima. Namun Bima menolak.
Arimbi mengadukan dukanya kepada pepohonan, namun pepohonan juga mengalami derita sama. Terbabat senjata Arjuna dan Bima.
Hanya seorang perempuan yang mengerti derita perempuan. Kunthi, ibu Bima, berjanji akan mendukung cinta Arimbi. Kunthi mendukung dengan tindakan: mendandani Arimbi.
Dandanan ini bukan hanya membuat Bima menerima cinta Arimbi. Bima menyatakan akan mencintai Arimbi. Kelak, dari cinta ini, akan terlahir Gatotkaca, jagoan para dewa, sekaligus tumbal kemenangan Bharatayuda bagi Pandawa.
Di tempat lain, Arjuna masih mengerahkan kesaktian untuk babat-alas. Ksatria tampan dan sakti ini, bertekad menaklukkan hutan.
Mata Semar awas memandang kejadian ini. Semar mengingatkan Arjuna, bahwa ksatria tampan dan sakti bukan hanya dirinya. Semar meminta Arjuna membaca-kembali sekeliling, bukan hanya menuntaskan hutan sebagaimana sebuah buku yang dibuka dan terpikirkan.
Dalam hutan ini, kata Semar, ada penguasa dan kerajaan yang tak-terlihat. Dengan penglihatan gaib, Arjuna melihat lapisan dunia-lain yang sama sekali tak-terlihat oleh mata-telanjang.
Arjuna berhadapan dengan penglihatannya sendiri. Betapa luasnya dunia. Dalam hutan yang akan ia dirikan kerajaan, telah terdapat kerajaan.
Pertarungan yang saling-melihat, pecahlah sudah. Manusia melawan kekuatan lembut.
Arimbi menjadi penengah. Ia meyakinkan para lelembut, tentang zaman baru. Sudah saatnya, kekuasaan tidak terjadi berdasarkan teritori.
Arimbi menawarkan kemungkinan baru: memberikan kesempatan kepada manusia, berdiri bersisihan, dalam hutan milik bersama.
Tidak semudah itu. Para lelembut membutuhkan alasan. Mereka tidak menemukan itu. Kekuasaan mereka jauh melampaui manusia. Apa yang menurut manusia sebagai keajaiban, bagi mereka adalah keseharian.
Puntadewa datang dengan kerendah-hatian. Ia meminta maaf atas tindakan adik-adiknya. Ia menceritakan derita Pandawa dan sebuah masa depan yang ia impikan.
Bukan kekuasaan, namun sebuah keluarga, yang diawali dari cinta Bima dan Arimbi. Ia memimpikan masyarakat baru, yang tidak melangggengkan keculasan Astinapura, melainkan keseimbangan dalam bermasyarakat. Bahwa kekuasaan sesungguhnya milik manusia biasa. Penguasa harus patuh kepada rakyat.
Puntadewa tidak mengabaikan ajakan Arimbi tentang zaman baru. Ia memperlihatkan bagaimana Kunthi mendandani Arimbi sebagai hubungan manusia dengan makhluk lain. Bukan manusia yang berkuasa di atas segala yang ada di bumi. Ada pepohonan, hewan, dan jagad renik yang bisa menyembuhkan dan melumpuhkan. Sehelai daun bisa menjadi racikan racun, atau justru penyembuh. Manusia tak-sendirian.
Puntadewa menunjukkan, bahwa membuka-hutan bukan atas-dasar kekuasaan dan penindasan. Puntadewa menyatakan betapa ia malu di hadapan kekuatan pepohonan dan angin, namun ia percaya, sebatang pohon adalah rumah manusia dan makhluk halus.
Apa artinya para dewa jika menindas manusia? Apa artinya manusia jika menindas makhluk-lain?
Mengerti kerendah-hatian Puntadewa bersaudara, para lelembut telah menemukan tuannya. Lima makhluk-halus terbaik Wisamarta, berjanji setia, lalu menyatu ke dalam tubuh Pandawa. Bahkan Pandawa mau dipanggil dengan nama-nama mereka.
Setelah peristiwa penyatuan ini, Pandawa terlahirkan-kembali, mendapati diri-mereka benar-benar berbeda.
Seekor hewan ternyata membuka jalan selamat. Wajah buruk Arimbi ternyata cantik jelita di tangan Kunthi yang mendandani menantunya itu. Perjanjian yang lebih baik, dengan penguasa yang tak-terlihat, adalah kerajaan yang sesungguhnya.
Hutan menjadi rumahnya. Manusia tak-sendirian. Suara batin mereka adalah suara hutan dan makhluk lain.
Dulu sekali, Pandudewanata, bapak Pandawa, menjadi jagoan andalan para dewa. Namun kelak, semua Pandawa menjadi andalan para dewa. Termasuk anak mereka.
Kurawa sama sekali tidak tahu, bahwa di balik hutan berbisa dan penuh bahaya itu, telah terjadi perubahan besar. Setengah hutan yang terbuka, diri yang terbuka sepenuhnya.
Hutan yang akan menjadi, dari Wisamarta, menjadi Amarta. *[dm]*