Apa arti pemberontakanmu, Antasena? Di hadapan jangka nasib dan perputaran waktu, ada yang tak kau lihat. Kau mampu mengalahkan para dewa, namun tidak dapat membaca kekuatanmu sendiri.
Antasena mendesak Pancawala, anak Puntadewa, untuk menguji kekuatan Kurawa.
Selama kekuasaan Astinapura berada di bawah Kurawa, dengan segala kecurangan mereka kepada Pandawa, ternyata belum ada yang kuat, secara fisik, duduk di tahta kerajaan Astinapura. Yang tidak kuat duduk di singgasana, berarti bukan raja.
Kabar ini bahkan diketahui siapapun, namun, belum ada yang berani menunjukkan ketidakmampuan Kurawa. Hanya Antasena yang berani.
Sebagus apapun visi Kurawa, mereka tidak kuat duduk di singgasana. Rakyat Astinapura bahkan tahu “rahasia” ini, sejak awal.
Sampai akhirnya Raja Suyudana, yang tertua dari para Kurawa, membuat singgasana sendiri. Duplikat fisik singgasana, yang tak bertuah, seperti aslinya.
Antasena hanya ingin tahu, siapa yang terkuat dari anak-anak Pandawa dan kelak akan bergelar raja Astinapura.
Rencana Antasena sepintas mudah: serang kerajaan Astinapura, bergiliran mengajak anak-anak Pandawa yang lain untuk menduduki tahta, lalu kembalikan kerajaan kepada Kurawa.
Dengan catatan, kelak tetap akan terjadi perang Bharatayuda. Yang penting, menurut Antasena, ketahuan siapa pewaris tahta.
Pemberontakan yang akan dijalankan ini, bersifat terbuka, karena tujuan Antasena adalah membuat semua orang melihat. Tidak ada rahasia, “Kita akan tunjukkan kepada rakyat Astinapura bahwa raja mereka selama ini tidak kuat menduduki singgasana asli dan lihatlah bagaimana (salah seorang dari) putra Pandawa yang berhasil duduk. Ialah raja Astinapura sesungguhnya.”.
Tidak perlu ijin dari para Pandawa, karena pasti mereka akan melarang pemberontakan.
Menurut Antasena, dalam pemberontakan ini, Tidak boleh ada kerusakan fisik, karena Astinapura warisan dari kakek moyang Kurawa dan Pandawa. Tidak boleh ada emosi di depan, sebab itu harus diawali dengan diplomasi, bicara baik-baik.
Untuk urusan diplomasi, Antasena tidak terlatih. Ia anak Bima dari ibu yang jarang disebut. Antasena tidak bisa bersopan-santun apalagi berdebat dengan sastra dan falsafah.
Antasena mengandalkan Pancawala, saudara sekakek, anak dari Puntadewa. Pancawala berperilaku lembut, tidak pernah berperang, mewarisi kelembutan bapaknya. Pancawala tidak akan dicurigai siapapun jika berdiplomasi. Kejujuran dan keluguan Pancawala diakui musuhnya.
Singkat cerita, Pancawala datang di tengah pasewakan agung kerjaan Astinapura. Dengan tenang ia bercerita, bahwa kedatangannya membawa sebuah pesan, yaitu, semua anak Pandawa ingin mencoba duduk di singgasana raja untuk membuktikan bahwa mereka pewaris yang sah.
“Tanpa perlu menunggu Bharatayuda mendatang. Kalau boleh, sekarang juga. Tidak mau kalau ditunda dengan nanti,” begitu ia menirukan apa yang dikatakan Antasena.
Kurawa sangat terkejut. Bagaimana mungkin Pancawala datang sendirian?
Kurawa memintanya menunggu di luar, sebelum memberikan jawaban. Setelah Pancawala kembali, Antasena menunggu bagaimana reaksi Kurawa.
Sedangkan di lain pihak, Kurawa kelabakan.
Tidak mungkin Pancawala sendirian, pasti ada yang mendorong dan siap berperang di belakang. Tanpa perlu mata-mata, mereka sudah membayangkan kengerian, jika nanti di belakang Pancawala ada anak-anak Pandawa siap berperang.
Semua anak Pandawa berbahaya. Bahkan para dewa pikir-pikir kalau bertarung dengan anak-anak Pandawa. Gatutkaca, begitu lahir sudah dipinjam para dewa untuk mengusir pemberontakan di Kahyangan, seluruh tubuhnya penuh senjata sakti para dewa. Antareja, sejak kecil dirawat kakeknya, Dewa para naga yang menjaga tanah, memiliki kesaktian dapat membunuh siapa saja hanya dengan menjilat jejaknya. Ia bisa “berenang” di dalam tanah sebebas Gatutkaca terbang. Belum lagi Wisanggeni, cucu dewa Brahma yang sejak kecil sudah mengobrak-abrik Kahyangan, mengalahkan para dewa.
Dan ternyata, sekarang Antasena di belakang Pancawala.
Antasena hidup di perairan. Ia memiliki intisari lautan di sepasang antena di kepalanya. Siapa yang belum saatnya mati, dapat perasan air dari sungut di kepalanya, akan sembuh seketika. Ia bisa memasukkan manusia ke dalam cincin yang dikenakan.
Antasena tidak pernah belajar perang. Dengan senang hati ia tunjukkan dadanya kalau ada yang mau menghujaninya dengan senjata. Baginya, melawan Kurawa adalah kesenangan dan latihan kecepatan belaka.
Antasena tidak punya rasa takut. Ia tinggal tanpa atap, selain lautan utuh, dan langit di atasnya. Antasena tidak mengenal pembatasan kekuasaan seperti manusia di daratan, dengan hukum yang berbeda-beda serta mengarah kepada persembahan.
Antasena terbiasa melihat ikan kecil masuk ke mulut ikan besar, lalu terurai dalam jejaring makanan yang melingkar. Seperti ikan bercangkang yang secara teknis tidak bisa mati, begitulah Antasena memutar energi di tubuhnya menjadi kekuatan tak-tertandingi.
Antasena seorang diri berperang, berarti membuka pintu-pintu ketakutan para Kurawa. Antasena selalu dilarang terlibat dalam pertarungan resmi, sebab tidak ada yang kuat melawannya.
Setelah menimbang situasi, akhirnya Kurawa mengutus Adipati Karna dan Baladewa, untuk meredam kemarahan Antasena.
Ini pilihan bukan sembarang pilihan. Adipati Karna, anak Bathara Surya (Dewa Matahari) memiliki senjata Kuntadruwasa, sedangkan Baladewa (kakak Kresna) memiliki senjata Nanggala. Kedua senjata ini tidak boleh dilepaskan, karena manusia manapun tidak ada yang kuat melawan senjata dewa ini.
Antasena menolak diplomasi. Pertarungan terjadi. Kedua senjata itu dilepaskan. Antasena sudah mengantisipasi. Ledakan tidak terjadi. Kedua senjata itu menjadi rampasan. Kalau senjata para dewa bisa dipermainkan semudah itu, berperang berarti bunuh-diri.
Semua orang penting Kurawa berhasil ia ringkus. Antasena meminta saksi, Patih Sengkuni, konspirator yang strateginya selalu membuat orang bekerja.
Pancawala mencoba duduk di singgasana, terpental dan pingsan. Antasena mencoba duduk di singgasana raja juga terpental dan jatuh pingsan.
Yang tertua, bukan. Yang berhasil mengambil-alih kekuasaan, juga bukan. Lalu siapa yang kuat duduk di situ?
Sementara itu, di hutan dekat Kurusetra, Abimanyu berjalan, dikawal para panakawan. Abimanyu ingin mencari kesejatian dan menjaga masa depannya, dengan jalan bermeditasi di hutan, jauh dari keramaian. Ia suka mengembara, sebagaimana Raja Palasara, kakek moyang Pandawa dan Kurawa suka mengembara.
Gatotkaca yang selalu merindukan adik kesayangannya itu, mengawalnya dari udara.
Di tengah bertapa, seekor gajah putih bercahaya, meraihnya. Belalai gajah itu mengangkatnga dan menaikkan Abimanyu ke punggung.
Gatotkaca marah, namun Semar melarangnya, “Biarkan. Itu gajah pusaka. Ikuti dari kejauhan, singkirkan gangguan di jalan.”
Gajah itu menuju singgasana raja Astinapura yang masih kosong. Gajah itu meletakkan Abimanyu di atas singgasana. Abimanyu kuat.
Seluruh mata rakyat Astinapura terbuka, bersorak gembira, menyaksikan raja yang sejati ternyata ada dan sedan duduk di singgasana yang selama ini disembunyikan para Kurawa.
Antasena senang bukan kepalang. Pancawala tersenyum gembira. Antasena berterima kasih, mengakui Abimanyu sebagai raja Astinapura. Antasena, yang berhasil merebut kekuasaan sebentar, meminta semua orang mengerti bahwa usaha ini bukan untuk dirinya, melainkan demi Astinapura.
Justru ini sebenarnya diplomasi terhebat: membuat publik “ikut berbicara”.
Antasena mengubah “pemberontakan fisik” menjadi “perang moral”. Agar yang tidak mengerti masalahnya, tidak ikut terlibat. Agar yang memahami maksudnya, memaklumi terjadinya kekerasan fisik. Dan para pendukungnya akan berjuang demi masa depan mereka masing-masing. Bukan demi kebanggan diri, faksi, atau berpikir-kelompok.
Antasena memanfaatkan momen langka ini, dengan membuat pengakuan publik bahwa Abimanyu Sang Raja. Antasena menjadikan dirinya sebagai teladan awal, yang menghormati Sang Raja.
Antasena menjadi mahapatih, Gatotkaca sebagai senopati.
Dan Sengkuni pedih menyaksikan semua ini. Kekuasaan yang turut ia bangun, menjadi mainan anak muda, namun semua orang mengakui status Abimanyu sebagai raja Astinapura.
Publik telah melihat. Antasena telah mengubah konfrontasi fisik menjadi perang moral. Dari sinilah ia mendapatkan dukungan sejati.
Antasena tidak menginginkan kesepakatan “hukum darat”, sebab baginya, membuktikan rasa ingin tahu adalah segalanya.
Antasena tahu, akan ada konsekuensi buruk yang harus ia tanggung.
Kurawa meminta bantuan asing. Kurawa berjanji, siapa yang berhasil “mengatasi masalah” ini akan diberi setengah tanah Astinapura.
Raja Boma, anak Kresna, datang untuk hadiah itu. Antasena meminta Gatotkaca sebagai senopati, untuk meredam keributan di luar istana. Gatotkaca melawan Raja Boma.
Pada saat hampir bersamaan, datang Bima, bapak Antasena dan Antarena yang akan menghajar kelakukan Antasena sebagai otak di balik pemberontakan ini. Antasena menyuruh Antareja melawan bapak mereka. Perang seru terjadi. Bima kalah, kakinya ditarik ke dalam tanah, tak bisa bergerak.
Kekacauan terjadi. Gatotkaca melawan Boma seperti tanpa hasil. Sama kuat, sama-sama punya kelemahan tersembunyi.
Hanya Kresna yang dapat meredam ketegangan. Kresna datang memisah pertarungan Gatotkaca dan Raja Boma.
Kepada Boma, ia menasehati anaknya, bahwa urusan Pandawa dan Kurawa bukanlah urusannya. “Tidak mungkin Kurawa memberikan hadiah setengah tanah Astinapura sekalipun Boma menang melawan Gatotkaca,” kata Kresna. Kurawa sering ingkar-janji.
Boma merasa mampu melawan Gatotkaca karena Boma memiliki Aji Pancasunya (orang sering keliru menyebutnya: “pancasona”), yang tak bisa mati selagi bagian tubuh Boma menyentuh tanah, namun, Krishna memiliki anjang-anjang kencana yang bisa mencegah Boma menyentuh tanah.
Mendengar rahasianya disebut, Boma meminta maaf. Karena tertipu oleh janji-palsu Kurawa, Boma merasa malu. Boma pulang ke kerajaannya, tidak melewati pasukannya.
Sepanjang jalan, ia merenungi perkataan bapaknya. Kini ia tahu, Kresna tidak memihak kepadanya. Bahkan ia tahu, perkataan Kresna sama dengan memberitahukan kepada Gatotkaca, bagaimana cara membunuh Raja Boma.
Kresna mendatangi Antasena dengan diplomasi.lain. Kresna berterima kasih kepada anak muda seperti Antasena dan turut mengakui status raja Abimanyu.
Kresna berpesan, kelak anak-anak Pandawa punya kesempatan berperang yang telah ditentukan para dewa, bernama perang Bharatayuda.
Antasena akhirnya mau mengembalikan tahta. Antasena berkata kepada saudara-saudaranya dan para Kurawa, ia akan mengganti kerusakan, sebab kerajaan ini hanya pinjaman dari masa depan.
Dan masa depan itu adalah Abimanyu.
Kresna yang paling bersedih di antara sorak kemenangan itu.
Kresna kelak akan menghadapi kenyataan, melihat Samba, anaknya, disayat-sayat Raja Boma, dan ia harus membunuh anaknya sendiri.
Para dewa, yang sedang menyaksikan kekuatan anak-anak Pandawa, telah memiliki perhitungan lain tentang masa depan.
Kelak, sebelum peperangan Bharatayuda terjadi, Kresna akan mengalami kepahitan.
Wishnu akan terpisah dari dirinya dan Arjuna.
Anak-anak Pandawa yang sakti itu, akan menerima garisnya masing-masing.
Antareja mati menjilat jejaknya sendiri.
Wisanggeni juga tidak boleh menyaksikan peperangan. Menurut Sang Hyang Wenang, Pandawa justru akan kalah jika Wisanggeni ikut berperang.
Kresna akan melawan 100 raja pendukung Kurawa dengan membuat sesaji Rajasuya (pengakuan status raja dari 100 raja) untuk Puntadewa. Tanpa ritual ini, status Puntadewa kurang kuat. Sesaji Rajasuya ini menandingi sesaji Kalalodra (yang mengorbankan 100 raja). Namun sejatinya, Kresna akan mengubah Bharatayuda menjadi sesaji Kalalodra kedua, yang disaksikan semua orang. 100 raja pendukung Kurawa akan ia tumpas dalam waktu singkat.
Kelak, dalam peperangan besar, Kresna harus membujuk Arjuna melawan Karna, saudara kandungnya. Baladewa akan dibujuk Kresna untuk bertapa, agar tidak ikut-campur dalam peperangan.
Gatotkaca, yang perutnya menelan sarung panah Kuntadruwasa milik Adipati Karna, kelak akan gugur oleh senjata itu. Wisanggeni yang tidak bisa dikalahkan dewa manapun, karena punya akses ke Sang Hyang Wenang, tidak bisa menyaksikan peperangan. Pancawala, setelah perang Bharatayuda, akan mati dibunuh Aswatama saat masih tidur.
Dan Abimanyu, bukan ia yang akan duduk di singgasana raja Astinapura. Abimanyu akan mati dihujani seribu senjata, sebab melanggar sumpahnya kepada perenpuan yang ia cinta.
Kresna tidak lagi diberi kekuatan Wishnu untuk melihat apa yang akan terjadi saat perang nanti. Sebagai petaruh, ia tidak boleh menggunakan kekuatan dewa. Kresna hanya boleh membaca lawan, menempatkan bidak dan kuda, siapa ditukar siapa, dan kemenangan tidak pernah menjadi kemenangan utuh dan terakhir.
Perang akan selalu disusul perang lain.
Antasena “ngraman” (memberontak) hanyalah bagian dari unjuk-kekuatan di lain waktu, untuk menggetarkan nyali Kurawa. Dengan kekuatannya sebagai manusia, Kresna akan menggunakan pengalamannya sebagai mantan perampok, orang yang pernah menculik isteri orang lain, dan seorang kawi (sastrawan) untuk menjalankan peperangan terbuka. Perang saudara. Takdir pahit para dewa. *[dm]*
Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.