SEMARANG (jatengtoday.com) – Sekitar 120 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang yang terancam digusur hingga saat ini terus berjuang. Mereka tak bosan-bosannya mengadukan permasalahan tersebut ke berbagai pihak untuk memperoleh keadilan.
Kali ini, mereka mengadu ke Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Selasa (8/9/2020). Warga sedikit bisa bernapas lega dan berharap banyak kepada orang nomor satu di Kota Semarang itu untuk membantu mengurai permasalahan yang dialami.
Pasalnya, saat ini nasib warga berada di ujung tanduk. Bagaimana tidak, Surat Peringatan 2 (SP2) telah dilayangkan oleh Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang. Tinggal selangkah lagi, setelah SP3, tentu saja Satpol PP Kota Semarang bakal meluluhlantahkan rumah-rumah warga.
Sedangkan warga sendiri merasa tidak bersalah karena sebagian warga juga memiliki bukti sertifikat tanah yang terbit sejak tahun 1975-1976. Tiba-tiba pada tahun 2015 muncul sertifikat baru atas nama Ryan Wibowo yang akan mendirikan perusahaan di lokasi tersebut. Proses pembangunan saat ini sedang berjalan. Bahkan rumah-rumah warga telah terkepung pagar cor beton.
Distaru Kota Semarang sendiri terkesan berpihak kepada pengembang dengan alasan telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sedangkan warga yang tidak memiliki IMB terancam digusur.
“Aduan kami telah ditanggapi Pak Wali Kota Semarang. Proses pembangunan sementara akan dihentikan atas perintah Pak Wali dan Distaru,” kata perwakilan warga Wonosari, Suparno, usai diterima audiensi di ruang pertemuan Wali Kota Semarang, kompleks Balai Kota Semarang.
Dia menceritakan, aduan permasalahan sengketa lahan warga diterima langsung Wali Kota Semarang meski secara terbatas. “Ada lima perwakilan warga yang diperbolehkan masuk. Kami ditemui langsung oleh Wali Kota Semarang dan didampingi Plt Kepala Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang, Irwansyah,” katanya.
Pertemuan tersebut juga dihadiri Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang, Sigit Rahmawan Adhi, Satpol PP Kota Semarang, Camat Ngaliyan, Lurah Wonosari dan sejumlah pejabat lain. Namun Ryan Wibowo selaku pihak yang bersengketa dengan warga tidak hadir.
“Pak Ryan Wibowo tidak hadir,” ujarnya.
Suparno menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menyampaikan beberapa poin. “Pertama, proses pembangunan yang saat ini berjalan akan dihentikan sementara. Kedua, Wali Kota Semarang akan memanggil Ryan Wibowo untuk dimintai penjelasan karena hari ini belum hadir,” katanya.
Ketiga, karena warga juga mengadu ke BPN Kota Semarang, maka BPN Kota Semarang menjanjikan akan menerima warga dalam pertemuan berikutnya.
Lebih lanjut, kata Suparno, dalam pertemuan tersebut, Kepala BPN Kota Semarang, Sigit Rahmawan Adhi sempat memberi penjelasan yang membuat warga Wonosari Ngaliyan kaget. Pertanyaan warga adalah bagaimana sertifikat atas nama Ryan Wibowo tersebut bisa muncul pada tahun 2015? Sedangkan warga memiliki sertifikat 1975-1976.
“Beliau menjelaskan bahwa terbitnya sertifikat karena adanya transaksi jual beli. Artinya Pak Ryan Wibowo membeli kepada seseorang. Ini sangat janggal, karena ahli waris tanah tidak ada yang menjual tanah tersebut. Kami akan tindaklanjuti temuan-temuan sebagaimana disampaikan oleh Kepala BPN Semarang tersebut,” katanya.
Kronologisnya, lanjut Suparno, berdasarkan penjelasan Kepala BPN Kota Semarang adalah bermula adanya transaksi jual beli tanah. “Ada seorang oknum yang menjual tanah ke pengembang PT Kama Jaya berinisial IND, kemudian dikuasakan kepada orang berinisial RMT dan TGH untuk mengurus dan menjual kepada Ryan Wibowo. Kami nilai itu sangat janggal, karena ahli waris tidak ada yang menjual,” katanya.
Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Joko Santoso mengatakan pihaknya siap memfasilitasi mediasi antara warga dengan pengembang, serta Distaru dan BPN Kota Semarang. “Dari situ akan ketemu, siapa yang memiliki hak sebenarnya. Itu bisa diruntut dari sejarah tanah tersebut. Harapannya harus ada pertemuan beberapa pihak tersebut. Baik dari warga, pengembang, Distaru dan BPN,” katanya.
Dia meminta, Pemkot Semarang jangan sampai gegabah dalam menangani persoalan seperti ini. “(Proses pembangunan) Harus dihentikan dulu hingga permasalahan tersebut tuntas. Pemerintah harus tahu perasaan warga juga lah. Bagaimana pun mereka yang merawat tanah itu. Kami juga belum tahu apakah yang benar itu warga atau pengembang, itu harus ditelisik dulu dari sejarah tanah tersebut,” katanya.
Namun secara manusiawi, lanjut Joko, seharusnya pihak pengembang memperhatikan permasalahan tersebut. “Apalagi warga telah menghuni dan merawat tanah tersebut dalam kurun waktu cukup lama. Bahkan apabila dimenangkan pengembang sekali pun, seharusnya pengembang tersebut juga memberikan ganti rugi atau tali asih kepada warga,” tegas dia. (*)
editor: ricky fitriyanto