SEMARANG (jatengtoday.com) – Warga Kampung Karangjangkang, Kelurahan Ngemplak Simongan, Kota Semarang mengaku kerap menangis memikirkan tempat tinggalnya. Mereka khawatir rumah yang sudah dihuni bertahun-tahun digusur.
“Ini ibu-ibu kalau malam pada nangis, kepikiran terus, pada takut,” ujar perwakilan warga, Sudarto (55) diamini ibu-ibu yang sedang berkumpul di kampung tersebut, Rabu (24/3/2021) sore.
Terdapat lebih dari 60 rumah di Kampung Karangjangkang yang sedang dalam sengketa. Tepatnya rumah-rumah yang ada di RT 03, RT 09, dan RT 10 di RW IV Kelurahan Ngemplak Simongan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
Warga sudah puluhan tahun menempati lahan tersebut. Tetapi mereka selalu kesulitan mengurus sertifikat kepemilikan. “Saya tinggal di sini sejak 1999 sampai sekarang. Dulu beli dari penggarap tanah sini,” ungkap Darto.
Menurutnya, masih banyak warga yang jauh lebih lama menempati kampung tersebut. “Kami pernah ngurus bareng-bareng ke kelurahan, tapi selalu ditolak. Padahal kami warga jelas, tiap pemilihan juga kami nyoblos,” imbuhnya.
Terima SP2, Mengadu ke Dewan
Keresahan warga semakin menjadi usai mendapat surat peringatan dari Dinas Penataan Ruang (Distaru) Kota Semarang karena tidak dapat menunjukkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Surat Peringatan pertama (SP1) diterima warga pada 25 Februari 2021. Lalu, Surat Peringatan Penghentian (SP2) kembali turun pada 18 Maret 2021.
Dalam SP2 tersebut Distaru memberikan waktu 7 hari, apabila warga tetap tidak mengindahkannya maka akan diterbitkan Surat Perintah Pembatasan Pembangunan (SP3) disertai dengan rekomendasi penyegelan.
Kini, warga didampingi kuasa hukum dari LBH Mawar Saron Semarang mengadukan nasibnya serta memohon perlindungan kepada DPRD Kota Semarang, Selasa (23/03/2021). Mereka berharap mendapatkan perhatian khusus dari wakil rakyat.
Salah satu kuasa hukum warga, Tommi Sarwan Sinaga mengatakan, rumah warga tersebut dibangun di atas tanah negara. Dulunya rumah-rumah itu memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) Nomor 113 pada tahun 1975.
HGB itu berakhir pada tahun 1995 dan tidak diperpanjang. Sehingga berdasarkan peraturan, itu menjadi tanah negara sejak berakhirnya masa belaku.
“Warga Karangjangkang menguasai tanah negara tersebut dengan mendirikan dan menempati bangunan rumah tinggal sejak puluhan tahun yang lalu,” ungkap Tommi.
Sebelumnya LBH Mawar Saron juga mendampingi warga Karangjangkang dalam upaya mengajukan permohonan hak atas tanah yang ditempati selama bertahun-tahun.
Jika mengacu pada PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, salah satu syarat dalam mengajukan sertifikat yakni adanya penguasaan fisik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut.
Sedangkan jika mengacu pada Surat Menteri ATR/BPN Nomor: 1756/15.1/IV/2016, diatur pula syarat pendaftaran tanah bagi masyarakat yang secara nyata menguasai tanah secara fisik. (*)
editor: ricky fitriyanto