SEMARANG (jatengtoday.com) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut hingga 2023 ini sekurang-kurangnya ada 13 ribu desa di wilayah pesisir serta ratusan pulau kecil terancam tenggelam. Tujuh pulau kecil di antaranya di Perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta telah tenggelam.
Mereka menilai bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 tidak memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim.
“Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah belum mengutamakan keselamatan lingkungan hidup, keselamatan masyarakat, dan juga keadilan iklim,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, dalam diskusi publik yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, 14 April 2023 lalu.
Menurutnya, masalah utamanya adalah Pasal 33 UUD 1945 tidak dijadikan dasar konsideran UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
“Maka yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan industri skala besar. Terutama di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Ini memperparah kerusakan lingkungan hidup, meminggirkan kehidupan masyarakat dan memperburuk dampak krisis iklim,” tegasnya.
Selama ini pembangunan di Indonesia menempatkan sumber daya alam, terutama pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagai target investasi skala besar.
“Reklamasi lebih dari 3,5 juta hektar hingga 2040, pertambangan seluas 2.919.870,93 hektar (atau sebanyak 1.405 IUP) di wilayah pesisir serta seluas 687.909,01 hektar (atau sebanyak 324 IUP) di wilayah laut hingga 2021, 50 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) hingga 2025,” urainya.
Dikatakannya, akibat RPJPN 2005-2045 yang tidak memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim, saat ini ada 13 ribu desa-di pesisir, ratusan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.
“Tujuh pulau kecil di antaranya telah tenggelam yakni di Perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, lanjut Parid, jutaan orang terancam menjadi pengungsi iklim akibat pembangunan yang tak memihak rakyat.
Direktur WALHI Jawa Tengah, Fahmi Bastian mengatakan bahwa Menurut Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Semarang termasuk salah satu kota yang diperkirakan akan tenggelam.
“Kami melihat banyak kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan karakter geografis wilayah. Contoh nyatanya, wilayah pesisir yang harusnya difungsikan untuk memiliki daya dukung dan daya tampung yang memadai, malah dijadikan proyek-proyek untuk kepentingan privat,” katanya.
Kerentanan bencana sangat jarang sekali dibicarakan. Isu lingkungan yang memiliki dampak berbahaya dalam jangka panjang ini cenderung kalah oleh wacana berjudul “Pertumbuhan Ekonomi”.
“Di pesisir Jawa Tengah, baik di utara dan selatan telah dibebani oleh izin industri skala besar yang telah merusak kelestarian pesisir dan laut,” katanya.
Dia menyebut bahwa pada tahun 2020 tercatat sebanyak 109 desa pesisir yang terdampak banjir rob. “Tak hanya itu, luasan mangrove juga mengalami penurunan yang sangat drastis. Tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektar. Tahun 2021, luasannya hanya 10.738,62 hektar,” terang dia.
Jumlah nelayan di Jawa Tengah juga mengalami penurunan yang sangat signifikan. “Pada tahun 2010, jumlah nelayan tercatat sebanyak 103.839 orang. Pada 2019, jumlahnya menurun menjadi 70.494 orang,” sebutnya.
Data tersebut, lanjut, menggambarkan betapa pembangunan telah mempercepat kerusakan lingkungan di pesisir Jawa Tengah. “Inilah potret pembangunan yang wajib dievaluasi oleh masyarakat.
Pembangunan Pemerintah Hanya Melayani Kapitalisme
Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata, Hotmauli Sidabalok, mengatakan bahwa paradigma pembangunan di Indonesia masih berkutat pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur skala besar.
Tak hanya itu, pendekatan pembangunan juga masih sangat top-down serta tidak mempertimbangkan persoalan-persoalan nyata di masyarakat. Hal ini membawa pada hilangnya dimensi keadilan lingkungan bagi masyarakat.
Ia mencontohkan pembangunan proyek pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) yang didorong oleh pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru memperparah kerusakan ekosistem pesisir Jawa Tengah, mengacaukan arus laut, menghancurkan garis pantai, serta merusak wilayah tangkap nelayan.
Maka dampak dari pembangunan tersebut mengakibatkan jumlah tangkapan ikan nelayan terus berkurang dari waktu ke waktu.
“Proyek infrastruktur skala besar tersebut, sejak lama tidak pernah didiskusikan dengan masyarakat di pesisir. Mereka tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bentuk ketidakadilan lingkungan, terutama ketidakadilan prosedural,” katanya.
BACA JUGA: Desa di Demak Banyak yang Tenggelam, Pemerintah Didesak Susun Langkah Pemulihan
Secara umum, lanjut Hotmauli, pembangunan di Indonesia tidak mempertimbangkan kebebasan politik dan sosial untuk masyarakat. Pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
“Banyak pembangunan yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebenarnya tidak benar-benar untuk kepentingan mereka. Pada praktiknya, kepentingan itu sebenarnya untuk melayani kapitalisme,” tegasnya.
Seorang nelayan asal Tambakrejo, Kota Semarang, Marzuki, mengatakan sejak 1997 mengaku telah merasakan kenaikan air laut walaupun belum tahu persis apa penyebabnya.
“Pada saat itu, kami melihat wilayah pesisir utara semakin terkikis. Banyak nelayan budidaya juga merasakan tambaknya terus menghilang,” katanya.
Saat ini, wilayah tersebut benar-benar telah hilang. Dia bersama nelayan lain saat ini semakin mengalami kesulitan menangkap ikan dibandingkan dengan awal tahun 2000-an.
“Dulu, nelayan dapat menangkap ikan ke tengah laut, namun kini tidak. Situasi semakin rumit dengan dipasangnya pipa-pipa industri di tengah wilayah tangkap nelayan dan mengganggu aktivitas nelayan. Saat ini kami sudah hampir kehabisan akal,” ujarnya.
Kesulitan hidup nelayan di Tambakrejo semakin bertambah dengan adanya penggusuran pada 2019 lalu. Lebih dari 97 keluarga nelayan di kampungnya tak mendapatkan kepastian tempat tinggal dari pemerintah.
“Kami semakin merasa kalau ada yang salah dalam pembangunan dan pengaturan wilayah kami. Ketika bicara soal pembangunan, termasuk yang dituangkan dalam RPJP, saya bertanya pembangunan ini dari dan untuk siapa?” jelasnya.
Hal yang sama diungkapkan perempuan nelayan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Asmania yang mengaku semakin kesulitan menangkap ikan. “Sepuluh tahun lalu, nelayan Pulau Pari dapat menangkap ikan minimal satu kwintal. Namun sekarang, 10 kilogram saja sudah sulit. Dalam situasi itu, sebagai perempuan, kami tetap berusaha menyediakan makan untuk keluarga kami,” katanya.
Menurutnya, proyek reklamasi di Pulau Tengah untuk proyek pariwisata telah menghancurkan kawasan tangkapan dan kawasan budidaya rumput laut nelayan di Pulau Pari. “Masyarakat di Pulau Pari juga harus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan pariwisata dan memenjarakan banyak nelayan. Dalam situasi itu perempuan nelayan, bergerak untuk melawan dan menyelamatkan masyarakat pulau pari,” tambah Asmania.
Pulau Pari yang luasnya hanya 42 hektar terancam tenggelam. Saat ini 11 persen pulau tersebut telah terendam air laut. Ia mengkhawatirkan masa depan anak-anak dan seluruh generasi muda yang hidup di sana.
Kini, ia bersama tiga orang nelayan tengah melakukan gugatan iklim melawan Holcim – perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss – karena Holcim memproduksi emisi karbon dalam jumlah sangat besar yang berakibat pada segudang permasalahan yang kini dihadapi masyarakat Pulau Pari.
Dia menyayangkan, mengapa dalam situasi seperti ini tidak adan upaya pemerintah untuk menyelamatkan Pulau Pari dari ancaman perampasan tanah sekaligus dampak krisis iklim.
“Kami mendesak pemerintah untuk mendesain pembangunan yang akan menyelamatkan kehidupan kami dan seluruh pulau, terlebih pulau kecil di Indonesia,” ujarnya. (*)