Ego dan insting, berbeda dalam bertanya.
Ego terjadi ketika “id” (insting dasar, biologis) bertemu dengan realitas. “Id” jika lapar mencari makanan, sedangkan “ego” memikirkan bagaimana caranya.
Sikap egois, menurut penelitian neurosains, terjadi karena otak manusia itu egois. Otak manusia lebih sering mengarah kepada sikap egois: memikirkan kepentingan “saya”, bertahan hidup, bahkan membohongi diri sendiri.
Sebelum tahun 2015, saya ofensif, suka menyerang orang yang tidak suka baca buku, karena saya anggap mereka yang tidak suka baca buku itu orangnya tidak ilmiah. Saya tidak suka mereka yang bicara tanpa dasar.
Pada sisi lain, saya tanpa kenal lelah mengajak orang membaca dan menulis. Saya pikir, ini tindakan altruisme, ternyata itu tindakan yang sangat egois.
Sampai kemudian saya tidak terjebak di permainan ofensif-defensif lagi.
Dulu saya suka mencari yang “terbaik” agar orang lain mendapatkan yang terbaik, dengan niatan baik: hidup mereka bisa menjadi lebih baik.
Ternyata, itu bukan “terbaik”.
Saya baru menyadari, ternyata kebijaksanaan hidup lebih sering “silent” (diam-tenang) dan “hidden” (tersembunyi). Seringnya lagi, bukan diedarkan di pasar sebagai informasi.
Apa jadinya saya kemudian setelah saya tidak bermain ofensif-defensif lagi? Lebih tenang.
Mari renungkan fase kedewasaan ini:
1. Ketika kecil, dunia seperti hitam-putih, terlalu sering meng-aku.
2. Saya lebih sibuk untuk mengakui keberadaan orang lain. Ini mirip teori Lacan tentang seorang anak kecil yang berdiri di depan cermin bersama ibunya.
Setidaknya, kita melihat perspektif dan opini orang lain. Ini terjadi ketika kamu di media sosial: menyatakan “aku” di tengah “orang-lain”.
3. Kemudian, identitas itu sempat terbungkus dalam kelompok.
Coba lihat organisasi yang ada di sekitamu. Atau betapa mudahnya kita membuat klasifikasi manusia. Orang ini kaya, orang ini berpendidikan, orang ini pintar berpolitik, dst.
Orang lain melihat “seseorang” (siapapun) melalui atribusi kelompok. Dia siapa? Apa profesi atau karya yang sudah dibuat? Tidak jarang, saya melihat orang yang sudah diidentikkan dengan “circle” tertentu.
Secara sosial, entitas mereka ini hilang. Bukan tanpa identitas, namun karena identitas mereka ini dibekukan. Betapa menyakitkan, perjalanan panjang seseorang diringkas hanya menjadi atribut kelompok: Ketua Organisasi X. Anehnya, orang suka atribusi kelompok. Mencapai ring 1, puncak jabatan, dan “pengalaman organisasi”.
4. Ini yang paling “ultimate”, menurutku. Fase di mana seseorang nyaman menjadi diri-sendiri.
Sendirian atau dalam circle, dia nyaman menjadi diri-sendiri. Saya merasa “sampai” ketika mengalami kenyamanan itu.
Ketika circle “penulis” berkumpul, saya orang yang tidak akan mau menerbitkan buku kertas.
Ketika circle “programmer” berkumpul, saya orang yang terlihat tanpa laptop. Saya tetap menulis, bisa 3 operating system, dan memakai 3 perangkat komputer.
Saya hanya berhenti menyarankan “yang terbaik” untuk orang lain.
Saya bergeser dari etnosentrisme (berpikiran bahwa cara saya adalah yang terbaik) ke relativitas budaya (menghargai diversitas, ragam-perbedaan).
Saya tidak bisa lagi menghakimi keadaan orang lain dengan perspektif dan pengalaman saya.
Suatu jawaban hanyalah setitik data dengan presisi sesaat, yang membebaskan orang dari suatu masalah.
Setetes air hujan yang jatuh ke lautan dan menjadi lautan.
Kalau kamu menjadi orang tua dan memiliki anak, kamu bisa memiliki senyum yang membiarkan anakmu bersalah karena pilihannya. Bukan orang tua yang melarang “ini” kemudian memaksakan “itu” kepada anaknya, hanya karena menurutnya itu pilihan terbaik.
Validasi ego dari orang lain, sering menyamar dalam bentuk nasehat. Orang sering memaksakan itu, seperti, “Jangan tonton adegan orang berjoget, lebih baik kamu belajar matematika..”.
Memaksakan nasehat sebagus apapun hanyalah validasi ego.
Sesekali, biarlah anak kecil dan orang-orang yang belum kamu anggap dewasa itu melihat dunia yang masih hitam-putih, di mana dirinya adalah pusat segala sesuatu. Pelan dan pasti, dia akan melihat orang lain juga hidup dan punya cara-pandang.
Saya sering menjadi silent-reader, mengakui kebodohan saya sendiri.
Saya tidak mengerti segala sesuatu.
Beberapa hal di dunia ini selalu berubah dan tidak bisa diketahui dengan pasti.
Kepribadian membutuhkan keseimbangan (orang juga butuh pengalaman-buruk dan terlempar di neraka kehidupan) untuk “hidup”.
Dan mungkin saya tidak tahu “gambar besar” di balik apa yang saya kerjakan.
Ketika melihat anak kecil sedang “nakal” dan menyimpang dari saran orang tua, saya sangat suka ketika melihat kedua orang tua mereka tertawa. Bukan marah.
Itu sebabnya sampai sekarang saya tidak pernah mengartikan “filsafat” sebagai “ilmu kebijaksanaan” di mana ada kumpulan nasehat dari orang-orang yang dianggap bijak, dari masa lalu.
Tidak. Kebijakan adalah sesuatu yang terus berubah, bentukan-sejarah, dan melibatkan banyak faktor.
Dengan cara seperti itulah saya bisa merasakan hidup ini dan berusaha mencintai semua makhluk hidup. [dm]