in ,

Upah Minimum di Jateng Masih Jauh dari Layak

SEMARANG – Satu sisi, gaya hidup berkembang pesat. Tapi di sisi lain Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Tengah masih jauh dari sebutan layak. Bagaimana tidak, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yakni senilai Rp 1.486.065. Meski harus bekerja peras keringat selama sebulan penuh, nilai upah tersebut sulit untuk digunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Upah Minimum Provinsi (UMP) 2018 di Jateng telah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 560/86 Tahun 2017. Dalam SK yang ditandatangani 31 Oktober 2017 itu, kenaikan UMP sesuai dengan formula perhitungan yang diatur PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yakni 8,71 persen, dengan nilai Rp 1.486.065.

“Ini masih sangat rendah, jauh dari sebutan layak. “Amanat Undang-Undang, upah ditetapkan mestinya untuk pencapaian kebutuhan hidup layak. Sehingga mampu menyejahterakan pekerja atau buruh,” kata Sekretaris DPW Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng, Heru Budi Utoyo.

Menurutnya, formula penghitungan UMP berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, tidak relevan dilaksanakan. Bahkan tidak tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 dan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. “Kami berharap gubernur punya keberanian dalam menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2018, yakni dengan menyesuaikan hasil survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak) di masing-masing daerah,” ujarnya.

Survei Kebutuhan Hidup Layak di masing-masing daerah harus dipenuhi agar Jateng tidak tertinggal dengan daerah lain. “Jateng mestinya harus mampu mengejar ketertinggalan dengan daerah lain,” katanya.

Sementara itu, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo mengakui UMP menjadi sesuatu yang punya nilai politis tinggi. Karena nyaris semua daerah di Jateng menggunakan UMK sebagai patokan. “UMK kan lebih mendekati kebutuhan masyarakat. Contohnya, di Kota Semarang UMKnya paling tinggi. Sementara Kabupaten Banjarnegara terendah,” katanya.

Ganjar pun menilai, formula untuk menghitung kenaikan upah, tidak fair jika menggunakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika dihitung berdasarkan daerah masing-masing, bisa lebih pas. “Bagaimana pun juga, penghitungan kenaikan upah berdasarkan formula yang telah disepakati, merupakan titik tengah. Sebab, kepentingan antara pengusaha dan buruh, berbeda. Pengusaha ingin upah rendah, sementara buruh menginginkan upah setinggi-tingginya. Yang paling fair adalah perhitungan berdasarkan formulasi,” tegasnya.

Namun demikian, penetapan UMP tersebut merupakan titik pengaman bagi buruh atau pekerja. Sebab, pengusaha harus mematuhi penghitungan UMK sesuai daerah masing-masing. UMP ini bisa dipakai untuk pengusaha kecil. Sehingga pengusaha yang tidak bisa memenuhi UMK, bisa menggunakan UMP tersebut. “UMP ini tetap menjadi pengaman dan perlindungan bagi pekerja,” imbuh Kepala Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Jateng, Wika Bintang. (abdul mughis)

Editor: Ismu Puruhito

Abdul Mughis