SEMARANG (jatengtoday.com) – Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang membuka peluang kepada siapa pun dan dari latar belakang apa pun. Meski berbasis Islam, kampus ini menyatakan siap untuk menerima mahasiswa non-muslim.
Hal itu diungkapkan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN Walisongo Mukhsin Jamil seusai Peresmian Rumah Moderasi Beragama & Launching Smart and Green Campus di institusinya, Kamis (19/12/2019).
Dulu, kata Mukhsin, UIN Walisongo sudah pernah menerima mahasiswa S3 non-muslim. Bahkan, mahasiswa tersebut seorang pendeta. “Sayangnya belum sampai lulus beliau meninggal dunia karena menderita sakit,” jelasnya.
Untuk jenjang S1 sendiri, ia mengakui selama ini belum pernah ada mahasiswa non-muslim. Namun, hal itu hanya karena tidak ada yang mendaftar, bukan karena aturan kampusnya.
“Dari segi regulasi, di pedoman akademiknya, UIN Walisongo tidak mensyaratkan mahasiswa yang diterima harus muslim. Kami sebenarnya membuka. Silakan saja,” tegas Mukhsin.
Hanya saja, katanya, seluruh mahasiswa wajib untuk menjalankan aturan yang sudah ditetapkan. Dia mencontohkan dengan keharusan mengikuti mata kuliah yang didominasi materi keislaman.
“Di sini mata kuliahnya dikaji secara akademik. Anda boleh mengkaji Islam, Kristen, dan agama apapun. Di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora juga semua agama dipelajari, tapi nggak ada mahasiswa yang terus pindah agama. Karena mempelajari agama secara akademik,” bebernya.
Begitu pula dengan aturan mengenai dresscode di UIN Walisongo. Kampus ini secara rinci telah mengatur busana model apa yang diperbolehkan dan dilarang. Seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi mahasiswi.
“Karena aturannya begitu, maka kalau non-muslim yang wanita ya harus berjilbab. Patuhi saja tanpa membawa nama agama, karena itu hanya dresscode,” beber Mukhsin.
Bahkan, meskipun jilbab diwajibkan, UIN Walisongo melarang mahasiswanya mengenakan cadar. Alasannya tentu bukan ideologi, melainkan sebatas administratif.
Ke depan, dia memprediksi mahasiswa UIN Walisongo akan semakin homogen. Apalagi dengan dibukanya kelas internasional yang memungkinkan mahasiswa datang dari berbagai negara.
“Kelas internasional tidak melihat latar belakangnya apa. Mereka datang dari Belanda, Jerman, Somalia, dan mana saja. Saya yakin ke depan akan semakin banyak, terutama orang-orang yang dari Eropa,” ucapnya.
Saat ini saja sudah banyak mahasiswa dari luar negeri seperti Thailand, Somalia, Libya, dan Turkmenistan. “Tahun 2020 besok juga mau ada mahasiswa dari Rusia,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto